Kamis, Desember 25, 2008

Di Hari Ibu

Ada banyak hal yang membuat kita terkejut, di hari-hari yang kita lalui dalam hidup, terkadang adegannya membuat kita terheran-heran, mengapa kita bisa terjebak dalam kondisi yang demikian rumit, namun di satu sisi akan terbangun suatu pengetahuan tentang suatu hal yang amat asing, hal itu juga terkadang membangun suatu kesadaran bahwa tentang mengadalkan kekuatan dan kemapuan diri sendiri untuk bertahan di segala cuaca adalah suatu keharusan tak peduli seberapa banyak garda pelindung kita yang rela melakukan banyak hal untuk kita setiap saat rengekan butuh petolongan datang.

Di hari Ibu aku berjanji pada diriku, pada seluruh hari yang tersisa, bahwa tiada lain penolong setiaku hanyalah diriku sendiri dan Tuhan yang Maha Kasih, jika suatu saat kesulitan itu berkunjung, ku mohon jauhkan seluler kesayanganku itu dariku, jangan biarkan aku menghubungi seseorang yang yang ka anggap memiliki kemapuan melebihi diriku untuk datang membantuku, karena jika tak seorangpun datang aku akan jadi mahluk yang semakin bodoh, tak punya waktu untuk berpikir mencari solusi sendiri, hanya berpikir selalu mencari pertolongan dan sekali lagi kecewa kan bersarang.

Pada hari Ibu aku tersadar, bahwa hidup pada dasarnya adalah kesendirian, sekitar hanyalah aksesosis yang jangan pernah terlalu berharap akan memperindah kesendirian itu, dan dengan mengenang hal itu air mataku tak tumpah ketika melihat orang yang paling kucintai terbaring lemah di ranjang putih rumah sakit, sementara sang Aveo tak mau berkompromi denganku, ia bermasalah untuk yang pertama kali namun bertepanan dengan saat kesendirian, tanpa ada satupun tempat meminta pertolongan, aku berusaha untuk tersenyum, berusaha mengatasi semuanya sendiri.

Aku menyetir Aveoku dalam diam, melarikannya dengan kecepatan maksimum dan kehati-hatian ekstra agar tak ada satu getaranpun yang akan semakin menmbah rasa sakit di tubuh letih orang yang paling ku cintai. Samar ku lihat senyumnya, aku tau ia ingin sekali bertanya kemana kecenganganku selama ini? Tapi ia urungkan semua tanya di hatinya menghargai keberanianku kali ini.

Ternyata aku bisa melalui semua ini dengan baik, Tuhan membuatnya terasa ringan dan cepat berlalu, bahkan aku bisa tersenyum manis membawa bunga peringatan hari ibu, senyuman yang kupakai untuk memupus seluruh kesedihanku pagi ini, Terimakasih Tuhan telah tunjukan padaku bahwa tak semua yang terlihat adalah kenyataan, dan hal itu terbukti dengan telepon yang tak berbalas setelah mendengar aku terjebak dalam salah satu skenario hidup yang bernama kesulitan.

Cinta…
Semua rintangan dapat kuatasi dengan cintamu, aku tak butuh pertolongan siappun jika ada cintamu, seberapa sulitpun kakiku melangkah aku pasti akan menyusuri hidupku hingga tuntas. Sekali lagi hanya perlu kau dan keluarga kecil kita.

Lihatlah dengan Cinta

Tepat di HUT Riau, seorang teman sekantorku menyelengaran Resepsi Pernikahan putrinya yang berjodoh dengan pria asal Bali, Pestanya berlangsung meriah dengan balutan upacara pernikahan khas Melayu. Saat bersalaman di hadapan pentrakna dapat kurasakan wajah berbinar sang mempelai yang memancarkan aura kebahagiaan. Kebahagiaan itupun seolah menular padaku, ada bahagia yang membuncah dilubuk hatiku melihat mereka bersanding, mungkin karena sebelumnya aku telah mendengar tentang kisah cinta mereka yang berliku, sehingga bisa menyaksikan mereka melewati rintangan itu dan akhirnya menyatukan hati dalam bahtera rumah tangga adalah hal yang membuatku turut merasa bahagia.

Pernikahan dimanapun, selalu mampu mengahadirkan berjuta kegembiraan, kebahagian dan harapan baru. untuk si mempelai yang akan memulai episode baru hidupnya, demikian juga untuk lingkungan sekitar yang terpercik bahagia itu tentunya turut mengantungkan harapan akan pernikahan yang ideal.

Ada yang beruntung menemukan belahan jiwa pada saat yang tepat, adapula yang harus melalui banyak hal hingga akhirnya bertemu belahan jiwa, perjalanan menemukan belahan hati adalah perjalanan yang misterius, tak mudah menebak kemana alur nasib akan bermuara, hingga terkadang banyak yang hampir kelelahan mencari belahan hati , kemudian menyerah saja pada takdir, berdoa semoga Tuhan memberikan yang terbaik.

Kalimat itu dituturkan seoarang sahabat padaku ketika aku dan sahabat-sahabat yang lain mengejutkannya dengan ucapan Selamat Ulang Tahun, tepat ketika ia memasuki ruang kerja kami, pada Ulang Tahunnya yang 39. di batang usianya yang kian merambat, menurut pandangan umum masyarkat, ia sangat pantas untuk menikah dan membagun keluarga bahagia, namun tampaknya hingga kini Tuhan belum mempertemukannya dengan belahan hati.

ia tak lagi berharap akan akan datang seorang pangeran tampan berkuda putih yang akan menjemputnya kemudian hidup bahagia layaknya kisah Cinderella, ia lebih banyak membuka hatinya untuk kebahagian-kebahagian yang lain, yang mampu ia rengkuh, jika gelisah itu datang, ia tak segan berkisah padaku maupun pada sahabat-sahabat yang lain, namun tak pernah kutemukan berat dalam nada suaranya, hanya curahan hati agar orang lain paham bahwa ia tidaklah seperti yang dituduhkan banyak orang tentang kesendiriannya.

Ia tidak pemilih, bahkan sejak dulu tak pernah punya kriteria pendamping hidup, mengalir saja, begitu tuturnya, jika kebetulan menolak perjodohan dengan seseorang bukan karena ia merasa seseorang itu lebih rendah darinya hanya saja dalam istikorahnya ia tak menemukan kemantapan hati, salahkah ia?

Pernah suatu hari seoarang sahabat mencoba memperkenalkannya dengan seoarang pria lajang yang sebaya dengannya, terlihat sepintas ia pria yang baik dan sholeh, terlebih banyak teman-teman di kantor yang sudah lama mengenalnya karena kebetulan letak kantor kami berdekatan, hampir semua merekomendasikan ia sebagai pria yang baik, maka tak ragu, kamipun mempertemukan mereka sesuai permintaan si Pria, selepas pertemuan dalam suatu kesempatan ia berkata pada sahabatku yang memperkenalkan mereka, bahwa ia tak berkenan dengan sang gadis karena ia anggap sang gadis terlalu tua untuknya.

Mendengar itu air mataku tumpah, dan aku sangat marah, tidak adakah alasan lain yang dapat ia kemukakan pada kami selain dari pada faktor Fisik, sebut saja belum srek, atau apalah, yang tak menyakiti hati kami sahabat-sahabat sang gadis, bahkan dengan ringannya ia berkata “saya pikir yang akan di perkenalkan pada saya mbak yang berkerudung hitam” ia menunjuk pada diriku “ atau Mbak yang yang berkaca mata itu” ucapnya lagi mengarah pada sahabatku yang lain.

Dan… banyak lagi ucapan menyakitkan yang membuat aku ingin muntah saja, betapa dangkal pikiranmu hai lelaki…. Hanya raga kah yang berarti untukmu, tidakkah kau tau jika jiwa sudah tiada raga hanyalah bangkai busuk yang di jauhi semua orang, maka dengan sedikit nada meninggi, aku memutus tawanya yang menyebalkan dengan mengucapkan kalimat yang tanpa dapat kukontrol meluncur saja dari bibirku yang gemeter “ Mas khan juga udah tua, saya liat di biodata mas, usia mas tahun ini menginjak 46 tahun, sadar dong….” Andai saja “boleh” ingin ku tonjok mulut lelaki dihadapanku yang dengan ringan mencela “kekurangan” fisik sang gadis. Rabbi…lindungi aku dari marah yang membahana.

Pembicaraan itu tentunya kami rahasiakan dari sang gadis, berharap tak ada luka yang mampir dihatinya, dan syukurlah ia tak pernah menanyakan lanjutan pertemuan itu, dan hidup berjalan seperti biasanya, seoalah tak terjadi apapun, namun hatiku terlajur luka pada kejadian itu sehingga ketika bapak-bapak di kantor menasehati sang Gadis untuk mencari pendamping, (Enatah Nasehat yang ke berapa) kemudian segera menikah dan tak perlu terlalu memilih, hatiku membara, pikirku bergelora, taukah kalian bahwa sang gadis lebih ingin menemukan balahan hati lebih dari yang kalian pikirkan, rasanya ingin aku berteriak sudahlah…jangan desak ia terus dengan nasehat yang sama. Janagan Pojokan ia dengan nasehat yang berulang, Lihat wajah tertunduk sang gadis, tatap ia baik-baik, Lihatlah dari kacamata Sang Gadis, semoga semua melihat dengan jelas betapa ia tak ingin mengulang pembicaraan yang sama.

Rabbi…hanya satu doaku untuknya…Berikan yang terbaik untuknya, jauhkan semua kesedihan dan kepiluah dari hati nya, “Sister, I love U”


Rabu, Desember 10, 2008

Kolam Teratai II

Kepingan ingatan terkadang tak sepenuhnya melahirkan bentuk yang sama, ada yang terhempas amat tinggi hingga jatuh berderai, ada pula yang hanya retak, dan masih dapat terselamatkan, demikian juga ingatanku tentang selasar rumah sakit, selalu saja menimbulkan aroma menusuk bau karbol yang mengingatkan tentang salah satu keping kenangan tentang perasaan tak berdaya terbaring dimeja operasi, kenangan itu kerap muncul ketika melihat orang-orang hilir mudik di selasar rumah sakit, ya…seperi kelahiran dan kematian, selalu saja ada yang datang dan pergi, yang pergi hanya akan dikenang sesekali sebagai sosok yang mungkin pernah berarti yang datang akan disirami dengan harapan, untuk kehidupan yang lebih baik.

Ketika pisau-pisau bedah itu menyayat tubuhku, jiwaku entah melayang kemana, ketika terbangun, bau karbol yang menusuk itulah yang pertama kali mampir dipenciumanku, semua terasa melayang, itulah saat dimana aku sangat membutuhkan gengaman erat tangan seseorang. Entahlah, begitu takut akan pergi, dan tak dapat lagi kembali.

Mungkin itulah perasaan seorang sahabat yang tiba-tiba saja terbaring tak berdaya, dan dalam sekejap seoalah meninggalkan dunia, tak mengenali kedua orangtuanya, saudara-saudaranya dan tentu saja tak mengenali aku sahabatnya yang menangis terisak melihat jasadnya yang begitu hampa, tiap kali memcoba mengatakan betapa aku merindukan tawanya, tiap kalipula ia mengulangi perkataan ku, saat itu sama halnya ketika masih berada dalam pengaruh obat bius sehabis operasi, terasa melayang, sulit mengapai sesuatu yang terlihat amat dekat namun amat sulit di gapai.

Aku selalu berusaha mengingatkannya tentang dirinya, tentang kolam teratai di sekolah kami, tentang guru-guru disekolah kami yang amat sangat merindukan Most Favorite student nya, dan tentang puisi-puisinya, tentang cerpen-cerpennya, dan tentunya tentang es cream Favorite seharga 2000 perak yang selalu kami beli bersama, dan akan kami nikmati bersama sambil mengayuh sepeda deki berwarna ungu hilir mudik mengitari kota kecil kami.

Namun semakin keras aku berusaha, semakin ia melupakanku, semakin terisak aku, semakin ia hanyut dalam dunianya. Tuhan... rasanya lebih baik kami seperti sebelumnya saja menjauh pelan-pelan karena dipisahkan tembok kelas yang berbeda dan banyak hal yang kami sendiri tak tau berawal dari mana, hingga tiba-tiba saja menemukan diri kami berada didua titik yang teramat jauh dari pada seperti ini, berada amat dekat namun tak dapat saling menyapa.

Suatu hari Tuhan mendengar doaku, Sahabatku kembali, ia sepenuhnya mampu menguasi dirinya dan mampu mengusir Virus jahat yang mengakibatkan ia menderita selaput radang otak, ia menjadi sahabatku yang dulu, tetap Favorite Student, sang primadona dan tentu saja tetaplah penulis handal yang selalu mampu membuatku menangis atau tertawa tiap kali membaca karyanya.

Hubungan kamipun masih tetap sama, tetap jauh, walau juga kadang terasa dekat, tetap dekat karena masih satu sekolah namun sekaligus terasa amat jauh, tetap menajalani hari masing-masing dengan cara sendiri-sendiri pula, namun satu hal yang ku tahu, aku tetap saja menyayanginya dan aku mengerti suatu hal bahwa persahabatan hanyalah mengaharapkan yang terbaik bagi sahabatnya walaupun ada tembok yang mengahalangi namun sahabat tetaplah sahabat.

Dimanapun kau berada saat ini, jika suatu hari kau menemukan tulisan ini, aku ingin kau tau, walaupun semua telah berubah diantara kita, namun setetes kenangan tentang persahabatan kita akan selalu ku kenang, seperi aku mengenang kolam teratai di sekolah kita.

Kamis, Desember 04, 2008

Hei...aku menangis

Jika hati manusia seluas samudra tentunya ada banyak tempat di sana, tempat untuk memaafkan, tempat untuk kebahagian, tempat untuk kebencian, tempat untuk kasih sayang, hanya saja porsi dari setiap tempat itu yang berbeda, ada yang mendapat kavling sangat luas adapula yang hanya mendapatkan seruas tempat yang bahkan kadang-kadang tergusur hilng hingga lenyap.

Manusia dilahirkan dengan daya tahan berbeda, ada yang akan sangat tersakiti dengan sesuatu yang dipandang amat sepele oleh orang lain, namun ada pula yang tetap tabah mengahadapi aneka persoalan yang membuat kening sebagian orang berkerut, mencoba mencari jawab tentang ketabahan hati yang dimilikinya.

Jikalau saja manusia menyadari bahwa seseorang dilahirkan dengan keunikannya masing-masing, tentunya seseorang ankan sedikit berhati-hati dalam memperlakukan seseorang, dosis yang yang ia berikan pada seseorang tidak dapat ia pukul rata pada orang lain, dengan kehati-hatian semacam itu tentunya akan terminumalisirlah orang-orang yang membutuhkan antibiotik untuk mengobati luka hati yang kerap membutuhkan waktu yang lama untuk di sembuhkan.

Dunia ini ternyata begitu beraneka, banyak warna yang Tuhan guratkan,dengan warna-warna itulah Tuhan mengambarkan keindahan yang tak semua hati manusia dapat menangkapnya, terkadang butuh stimulus lebih untuk menyampaikan bahwa aneka warna itu adalah keidahan. Bayangkan jika Tuhan hanya mencipatakan dunia hanya dengan satu warna (walaupun itu warna favoritmu), tentunya akan sulit untukmu menetukan pilihan dan perbandingan akan keindahan.

Namun terkadang amat sulit mengkompromikan anatara kemauan hati dan keinginan otak, selalu saja menginginkan Dunia hanya dalam warna yang indah menurut sudut padang diri sendiri, walaupun sudah banyak yang yang berkata bahwa kita dapat mengetahui seseorang itu baik setelah melihat bahwa ada banyak orang jahat di sekitar kita, walaupun tidak selalunya begitu, namun hitam putih merupak contoh tersimpel untuk orang-orang yang hatinya amat sulit menerima kelamnya sang hitam tengah ia jalani.

Tuhan….
Maaf aku tak dapat membangun sebuah ruang di hatiku, untuk sebuah kata Maaf, maafkan segala keangkuhanku, hanya aku juga tersakiti karena tak pernah mampu memberi maaf.

Tuhan….
Kuharap, kupinta dan kumohon bersihkan hatiku dari debu ini, ajari aku menjadi Mahluk yang baik, yang mampu mengalirkan ribuan maaf.

Ah….sungguh aku bukan manhluk yang baik, bukan pula mahluk yang sempurna, hanya sepotong hatiku yang amat sangat angkuh untuk melihat bahwa akupun mungkin membutuhkan sepotong maaf dari orang yang tak mampu ku maafkan karena aku tak mampu memberinya senuah kata maaf.



Selasa, Desember 02, 2008

Terkoneksi

Manusia tak pernah mampu menghidar dari pertemuan dan kemudian diakhiri perpisahan. Pada yang menuang gula, pertemuan akan terasa manis menebar, yang mengiris luka itulah tangis perpisahan. Namun aliran takdir tak hanya berhenti di sana, siklusnya kembali berulang, dan kembali lagi manusia menikmati gelombang rasa.

Pada masa lalu yang tertinggal disilam, bertabur kisah yang tak pernah dinyana adalah kisah yang terhubung dengan takdir hari ini, walau tak pernah jadi pelakon ternyata plotnya berhubungan dengan jalinan hidup, menghadirkan kejutan di panjangnya jalan yang ditempuh, hingga sebagai pelakon tak jarang senyuman dan tawa menjadi teman dan lain waktu, kesedihan membuntuti dengan setia.

Kesedihan orang lain, ternyata adalah juga kesedihan yang pernah kita alami, kehilangan kita adalah kehilangan yang juga dirasai oleh orang lain, kebahagian yang menghampar, adalah hamparan yang sebelumnya dibentang oleh sekeping hati, keindahan yang terekam mata. Adalah juga keindahan yang direkam mata orang lain, walau sudut pandangnya berbeda hakikinya adalah tampilan sebuah objek yang sama.

Ada yang meranggas dan adapula yang bertunas, ia terus bertumbuh sesuai dengan siklusnya, tak sedikitpun keinginannya untuk melawan hukum alam. Bila esok kuntum bermekaran beberapa waktu kemudian gugur dan digantikan kuntum yang lain, demikianlah hidup terus berlalu dengan aneka warna yang terlukis didalamnya

Lingkaran hidup, pada suatu ketika dipertemukannyalah pada suatu titik dengan sesorang yang terkoneksi lewat lembar-lembar cerita yang tak pernah terekam dengan baik, namun sebagai dokomentasi hidup tentunya meninggalkan jejak meski amat sulit untuk melacaknya.

Pernah terpikir olehku dimanakah awal terkoneksinya dua titik yang amat jauh itu, lama kucari jawab dari pertanyaan itu, hingga suatu saat aku menyadari bahwa kami dikungkung oleh sebuah lingkaran yang sama, lingkaran hati, perasaan dan keyakinan yang amat suka menjelajah titik terjauh pikiran, hingga dalam perjalanannya yang tertinggal adalah orang-orang yang berkarakter sama, dari sana pula mungkin tanpa sadar kami tertarik dalam lingkatan yang sama. Lingkaran yang pada suatu ketika membuat kami menyadari bahwa kami adalah keping-keping Puzzle yang membentuk sebuah gambar.

Ada gambar tentang hari lalu yang mengundang deras tawa, terpingkal-pingkal, ah…sebuah gambar memberikan pelajaran tentang langkah-langkah hidup yang membiaskan warna pelangi.

Jumat, November 28, 2008

Kolam Teratai

Nurani adalah cermin yang paling jujur walau terkadang kita berusaha untuk membuaramkan pantulannya, namun sekeras apapun kita berusaha bayang-bayang kejujuran itu akan tampak juga.

Itulah ucapan seorang sahabat yang tak aku lupakan, aku mengenang kalimat itu sebagai kalimat “cinta” seoarang sahabat yang ia goresakan pada sepotong kertas yang ku temukan secara tak sengaja di lipatan bukunya. Ternyata sahabat yang ku kenal dingin dan pendiam itu punya kemampuan meramu kata-kata menjadi kalimat yang indah. bahkan kala itu kalimat itu begitu menohok hati, seolah ia ingin aku jujur pada hatiku, bahwa ini lah kenyataan yang ada dan jangan pernah lari darinya.

Sebagai anak SMA biasa bahkan cendrung marjinal, aku adalah pribadi yang amat anti sosial, tak punya banyak teman, sangat individualistis, kesepian dan ingin lekas-lekas lari dari kenyataan, karena hidup kurasa tak ada indahnya dalam kaca mata remajaku,

Aku orang yang Tuhan anugrahi begitu banyak perbedaan dari manusia normal pada umumnya, bahkan sahabatku pernah bergurau yang lagi-lagi kurasa benar adanya. “ mungkin partikel-partikel itu tak pernah sampai padamu karena tertutup gelombang elektromaknetik orang-orang istimewa yang berada disekelilingmu” aku tersenyum saja kala itu, tapi jauh di lubuk hati aku berucap salah satu medan elektromagnetik itu adalah engkau sahabat, engkau terlalu istimewa sehingga, orang “berbeda” seperti aku akan tampak semakin aneh jika berada disisimu.

Itulah mungkin alasan kenapa aku memilih menjauh darimu, memilih menatapi kolam teratai saja saat bel istirahat berbunyi,tak lagi menanti datangnya surat-surat pembangkit semangat yang biasa terselip di laci meja kusamku, tak lagi menanti disket-disket berisi pertanyaan-pertanyaan yang kerap mengelitik dan membuatku ingin “sembuh”

Sahabat, satu-satunya yang tersisa dari memory masa SMA ku adalah engkau, orang yang selalu ingin kujajaki hatinya namun tak pernah ada jalan untuk memasukinya, engkau selalu menyediakan dirimu untuk semua keluh kesahku tapi tidak pernah “mempercayai” aku untuk menyimpan nestapamu. Sehingga dimataku kau adalah manusia yang paling bahagia. Hingga kini bahkan.

Mungkin pada saat itu engkau lebih memilih menyapaikan isi hatimu pada sepotong puisi atau cerpen-cerpen indah yang kau tulis dengan metafora yang indah, hanya saja aku terlalu naif untuk dapat membaca apa yang bersembunyi di palung hatimu. Sekali lagi aku aku bertanya pada hatiku, pantaskah aku mengkleim diri sebagai sahabatmu?

Begitulah aku yang teramat sibuk dengan diri sendiri, hingga mungkin melupakan bahwa kau juga manusia biasa yang tentunya punya perasaan sedih, gembira, hampa bahkan nestapa. Dan sekali lagi aku tak pernah mampu membaca hatimu.

Aku yang pada akhirnya memilih sendiri dan kau pun lamat-lamat menjauh dariku,hingga akhirnya kita hanyalah dua orang asing yang tak pernah saling mengenal. sungguh itu bagian terpilu masa SMA ku, kehilangan satu-satunya orang yang mampu membaca alur pikirku yang tak biasa. Mulai saat itu akupun semakin mencintai kolam teratai di sekolah kita, kala menatap kuntum-kuntum teratai, aku seperti menemukan dirimu disana, terpuruk di rawa yang kabut namun tetap saja indah.

Senin, November 24, 2008

Pada Suatu Ketika....

Seperti Kunang- Kunag yang kini amat langka ku temui menebur cahaya pada malam yang kelam, seperti itulah kisah ini timbul dan kemudian tengelam dalam benakku, pernah pada suatu ketika ia muncul bagai badai yang memporak porandakan seluruh relung hati, namun sesaat kemudian pergi lagi tak berbekas, Seperti ribuan tahun yang berlalu dan kemudian mengubah sebuah objek yang terus berevolusi menjadi sesuatu yang tak lagi dikenal, namun ternyata di setiap kehidupan menyimpan tandanya sendiri, seperi gen yang kuwarisi dari kedua orang tuaku, yang akan tetap menjadikanku dikenali sebagai seseorang dari rumpun keluarga ku.
Kenangan biarpun dipotong-potong menjadi bagian terkecil bahkan dikubur di palung terdalam bumi tetaplah menimbulkan sebuah jejak, terlepas apakah jejak itu sesuatu yang bernilai indah atau sebaliknya. Menghargai kenangan adalah menghormati perjalan hidup yang Tuhan gariskan. karena tanpa "IYA" Nya tiadalah mungkin suatu pertemuan akan terjadi dan melahirkan sebuah persambungan kehidupan, mungkin untuk itulah orang-orang sukses dan ternama membuat kerap membuat Biografi agar ia dapat menyadari seberapa jauh sang kehidupan telah membawa kakinya melangkah.
Ada yang memutuskan untuk kembali bernostalgia pada kenangan, ada pula yang memutuskan untuk menceraikan kenangan dan terus saja berlari tiap berjumpa dengan objek kenangan, sungguh terkadang manusia punya caranya sendiri untuk memperlakukan kenangan, tak peduali seberapa banyak sebetulnya kenangan itu punya potensi untuk menyakitinya kembali atau justru kenangan itu punya potensi memeberikan pelajaran terbaik dalam hidupnya.
Banyak sekali yang diperlakukan sebagai objek tak dikenal akibat perubahan iklim dan cuaca, dan tak ada yang patut dikomentari dari gejala itu, hanya saja pernah terlintas dalam mindaku yang sempit, mengapa kita tak dapat menjalani dunia kita seperti layaknya sungai yang tak henti mengalir dan sementara ditempat lain sebuah danau terhampar dengan tenang, hei...berdamailah, berdamai dengan semua jenis kenangan.
Bila pada suatu ketika sang waktu berkenan untuk memeutar arahnya,sehingga mengantarkan pada sebuah De Javu, perlihatkanlah sebuah dunia diamana segala sesuatunya berputar pada orbitnya, dan keculai Tuhan Menitahkan hal yng berbeda , tiadalah mungkin sesetu berputar dari orbitny untuk menggangu perjalanan yang lain. Tuhan telah mengariskan segala sesuatunya atas hidup seseorang.
Kedamaian yang mungkin banyak dicari manusia sesungguhnya adalah kedamian dalam menerima diri beserta seluruh hal yang mengikat padanya, karena itu tersenyumlah pada masa lalu, kini dan hari esok.

Sabtu, September 06, 2008

Pesan

By: Rivana Usgianti, S.si

Melalui gerimis
langit meneteskan
jutaan doa

kau bilang
kau titip larik
dibeberapa
tetesnya untuku

terbaca di situ
:biar kuarungi sepimu

Kamis, September 04, 2008

Sudah waktunya...

Hampir tiba ia
Kilaunya berpendar sudah
Namun beku masih kurasa
Hingga terasa jauh tautan rasa

fajar yang kemilau
Rindu aku menderap langkah
Ke rumah suci yang semarak
Dan dinginnya pagi yang memeluk

Bila hati berkata cinta
Satukan ia

inginku II

Putaran waktu
Bawalah aku pada cinta
Labuhkan pada kasih
Dan
Berhentilah disana

Putaran waktu
Simpan aku dalam arus
Membekulah disana
Dan
Biarkan ku tatap cinta dari sini

Cinta
Tuntun aku menuju abadi
Bergelora selalu
Hingga maut memisahkan

Kasih
Betapa aku mencintaimu

Selasa, Agustus 26, 2008

Dadan-Dahan Kering

Teramat sulit memulai tulus, pada hal hati demikian lelah, pada kebencian pada duka, pada amarah, dan pada kecewa. Panas dan terik selalu saja menghadang setiap sejuk mulai berhembus. pada masa lalu yang penuh gurat, ku coba berkaca berharap bertemu sedikit bayangan Maaf, tapi amarah itu tak kunjung cair, masih ada hawa derita yang membias.

Aku yang seorang gadis cilik kala itu, aku yang gadis remaja masa itu hingga aku yang sang wanita kini, tak kunjung menemukan tempat untuk menyimpan rapat semua kenangan agar tak merembes ke hatiku, maka berkelanalah aku mencari secercah keindahan pada mahluk yang Tuhan ciptakan, selalu saja ku temukan begitu indah harmoni alam, seolah kesakitan tak mampu menyentuh, tapi di sini mengapa selalu selalu derita menjadi awan?

Ibu demikian tabah engkau mencabuti satu-satu duri yang melukai kakimu, tanpa air mata, tanpa keluh kesah… padahal ku tau hatimu pilu, Ayah, terlalu lapang hatimu menerima semua dahan patah itu bertebaran, adik-adiku, biarkan mereka menimbun kita dengan daun meranggas yang kesepian, sungguh suatu hari mereka akan tau bahwa kita adalah permata ayah dan ibu yang selalu bersinar walau kerikil itu selalu merasa dirinya indah.

Jangan hembuskan angin lagi, sudah lah…terlalu letih aku bertahan agar tak patah dahan-dahan kering itu, harusnya ku potong saja dahan-dahan kering itu supaya lebih banyak daun segar yang berputik, tapi Ibu amat mencintai dahan-dahan lawas itu, sehingga memotongnya sama dengan memotong separo jatung Ibu, dan itu tak mungkin ku lakukan aku teramat mencintai Ibu, sehingga ku biarkan saja dahan-dahan kering itu tetap di tempatnya entah sampai kapan.

Aku takut dahan-dahan kering itu kembali melukai Ibu, sudah teramat sering ketika angin datang mereka menerpa Ibu, tapi lagi-lagi ibu terdiam menganggap semua itu dharma bakti hanya karena bertunas dari pohon yang sama. Ibu…sudahlah Bu

Rabu, Agustus 20, 2008

Hujan di Siang itu...

Hujan… sesorang pernah bertutur padaku betapa hujan membangkitkan kenangannya pada seseorang, mungkin jika ia ada disini dan menatap hujan dari balik jendela, tak hanya terkenang, ia juga pasti menanamkan sejuta asa tentang hujan kali ini. semoga saja kabut asap segera berlalu, semoga saja Koto Panjang kembali tergenang, tapi hujan tak lama mampir, hanya sekeder singgah di bumi gersang yang teramat rindu pada desau hujan yang merdu.

bersinku tak kunjung reda, terus saja ia menggodaku, mungkin sebentar lagi flu hendak datang berkunjung padaku, tamu rutin yang datang tiap kali jerebu merajai kota, apa hendak dikata, inilah duniaku, inilah habitatku kini, tempat yang Tuhan gariskan untuk aku menjalani sisi usia yang ia titipkan padaku, entah sampai kapan?

Sampaikah aku seusia para veteran dan warakauri yang dua hari terakhir menjadi pemadangan setiaku di kantorku. Tuhan…inilah mereka yang dulu angkat senjata melawan penjajah, tak kulihat kemilau harta di tubuh renta mereka, tak ku dapati julang sanjungan yang melekat di nama mereka, hanya tubuh-tubuh renta yang penuh semangat, seolah dapat ku saksikan tangan-tangan keriput inilah dulu yang merintis alam merdeka.

Bapak hanya orang biasa, yang membantu seadanya, demikian ucap si Bapak ketika aku bertanya tentang pertempuran yang ia lalui. Pahlawan sejati memang tak ingin ia sanjung puja, bahkan tidak pula pamer kehebatan masa lalu, “semua milik masa lalu” ucap beliau getir. emmm…tak banyak orang yang menolak bernostalgia ke masa jayanya.

Akhirnya aku berlalu, sembari meninggalkan raungan bersin yang kian ganas, sekilas pandang ku lihat sang Bapak berjalan pulang menaiki angkutan kota, seorang diri saja, di temani tongkat hitam yang mengawal langkahnya yang tertatih. Subhanallah… biarlah semua kenangan itu jadi milik beliau saja, semoga Engkau menjaga beliau Ya Allah…, Entahlah, aku kehabisan kata-kata, yang tersisa cuma butiran bening yang menghangat di pipiku.

Marx…tiba-tiba saja aku terkenang pada persahabatanmu dengan Angels, persahabatan yang indah hingga akhir hayat, sunyi jalan yang kau tempuh tentu mengadirkan sebuah symponi dengan hadirnya Angels. Tapi si Bapak hanya sendiri saja bertemankan tongkat hitam andai saja ada seorang Angels untuknya…..

Harus kubuang persaan teralienasi ini jauh-jauh, biarlah aku hanya mampu mengerjakan sebuah bagian kecil yang sebuah produk yang besar, biarlah, tak seorangpun tahu akulah sang pembuat baut kecil yang ikut mengerakkan sebuah mesin, semoga saja ia bermanfaat untuk orang banyak dan suatu hari walau ditelan kesunyian aku tetap dapat melihat semua berjalan sebagimana mestinya walau tak ada seorang proletar seperti aku. Semoga saja....dan sekali lagi tentang pelajaran keikhlasan.

Rabu, Agustus 13, 2008

Inginku

Jika ada ribuan hari yang membentang
Maka ku ingin habiskannya denganmu
Berbagi dunia aneka warna
Memaknainya sebagai keindahan

Jika ada asa yang membumbung
Ku ingin terbang hanya denganmu
Berbagai kisah aneka rupa
Mengartikannya sebagai cinta

Duhai cinta
Biarkan lelahku hanyut di bening matamu
Terbasuh senyummu yang damai
Bersandar di kokoh bahumu

Begandengan tangan kita lalui benting yang menghadang
Menanti surut meninggalkan waktunya
Hingga pasang kembali naik
Mengizinkan bahtera kecil kita menyeberang

Andai ada kelahiran kembali
Maka tetap engaku yang ku pilih
Sebagai cinta dalam hidupku
Hanya engkau.

Minggu, Agustus 10, 2008

Memungut yang terserak

Sebenarnya sudah sejak lama aku ingin menuliskan kisah ini, tapi kesibukan membenturkanku pada sebuah kata yang akhir-akhir ini kerap menguasi kosakataku “tidak sempat”, bahkan teman-teman sekantor kerap menjuluki waktu makanku dengan kata brealunch, maksudnya sarapan plus makan siang, maklum terkadang aku baru menyentuh makananan ketika arloji kesayangan hadiah ultah dari Hubby menunjukan pukul 11.00 teng, so apa namanya kalo bukan brealunch?

Tapi lagi-lagi kisah ini memanggil-manggil, bergelayut terus di otakku, terlebih kala mentap wajah bening sang nenek tua penjual kue yang biasa datang kekantorku, dengan sekeranjang penuh jajanan pasar, tubuh renta itu membawa baban yang demikian berat, walaupun aku tak mengerti matematika bahkan cendrung kesulitan dengan segala bentuk hitungan, namun sensor perasaanku berkata bahwa pastilah sang nenek kepayahan menjijinjing keranjang biru itu, bahkan tak jarang ku temui ia terengah-engah di Pos Satpam kantorku seraya menunggu pelanggan-pelanggan setianya menghampirinya.

Sesungguhnya aku teramat jarang berinteraksi dengan sang nenek, biasanya hanya melihatnya sekilas pandang mengelar dagangannya di kantorku, namun entah kenapa beberapa hari yang lalu hatiku seolah tergerus melihatnya, seorang nenek tua yang usianya mungkin sebaya nenekku. Harusnya ia sudah waktunya duduk manis di rumah menikmati segelas teh dan camilan kecil sambil menunggu kunjungan anak cucu, atau seperi yang lazim ku lihat ketika mengunjungi nenekku, mengaji dengan khusu kemudian dengan riang memamerkan aneka tamanan yang beliau rawat dengan tangannya sendiri.

Mengapa? Tentu pertanyaan itu yang bergema di benakku, ada banyak kemungkinan untuk jawaban pertanyaanku, namun hari itu ketika melihatnya sujud dalam sholatnya yang takzim, aku seperti tak lagi perlu tau kenapa hal seperti itu terjadi pada seoarang nenek tua, aku hanya melihat keriangan di matanya, ketulusan dari senyumnya yang damai, sepertinya aku menjadi lebih tertarik untuk merasakan energy dan semangatnya dalam bertahan hidup, dan tentunya aura keikhlasan yang memancar kuat dari dirinya.

Subhanallah, betapa ringan ia jalani hidup, betapa ia ikhlas ia lalui hari, tak ada keluhahan, tak ada permintaan belas kasihan, yang ia jalani hanyalah “lakon” begitu katanya ketika aku bertanya apa ia tidak lelah berdagang di usianya yang senja.

Tuhan…mendadak aku jadi sangat malu padaMu, betapa aku teramat banyak mengeluh untuk hal-hal sepele, mengeluhakan ketiadaan kenyamanan maksimal yang mampu kuraih.

Nenak tua yang tabah itu saja terus berjuang untuk hidupnya, padahal di jalanan banyak ku lihat pengemis yang kondisinya jauh lebih “baik” dari sang nenek, namun sang nenek tidak melakukannya karena ia percaya bahwa Tuhan menginginkan umatnya menjadi umat yang kuat, tidak cengeng dan pantang menyerah.

Tuhan jaga lah mata, hati dan telinga ku untuk dapat memungut hikmah dari semua kisah yang terbentang di bumiMu, jangan biarkan kesombongan menutup hatiku, jangan biarkan hingar bingar dunia mebutakan mataku, dan jangan biarkan kalpaan menulikan telingaku, bimbing aku Tuhan, untuk semakin dekat pada mau Mu, dan jangan biarkan mauku meraja dan mengaburkan arah yang engakau tunjukan padaku.

Kamis, Agustus 07, 2008

Jangan Pergi

Sore itu membias jingga di Indragiri
Riaknya ku dengar merdu mengalun
Seperti akan terlelap sangat nyenyak

Jangan pergi darinya…
Ia butuh di papah dalam langkahnya yang tertatih
Temani ia sahabat,
Dalam sepinya yang menghempas

Sungguh ia pertiwi sunyi
Terjerat dalam bisu yang hampa
Perlu begitu banyak pertolongan
Untuk meniti hari yang baru.

Sahabat…
Ku mohon jangan pergi
Ada begitu banyak yang ia pelukan darimu
Senyummu yang mencerahkan harinya
Keanggunanmu yang meredam amarahnya

Pergimu hanya menambah luka
Membawa perih yang tak luruh

tahan sedikit sedihmu
simpan sejenak pilumu
demi ia yang terpuruk

P.S Ku Mohon Jangan Pergi….

Sabtu, Agustus 02, 2008

Yang Tersisa

Puan…
Jangan bertanya padaku tentang masa yang tergulung ombak
Sumuanya telah pergi dengan langkah berderap
Beriring lambaian hampa yang membayang perlahan
Ikutpula cerita yang tersimpan di pucuk awan

Ia hanyalah priode hampa
Yang mengambang di ruang kosong
Tak pernah tersimpan
Juga tak harus dibuang

Mengapa harus gelisah?

Andai ada beribu kisah seperti itu, jangan biarkan ia menghiba
Berjalanlah terus
Terseok itu biasa
Jika lelah datang bertamu, sambut saja ia
Pertanda harus berhenti sejenak.

Puan…
Tak ada kata yang harus disimpan
Tak ada kalimat yang harus dilupakan

Jujur saja pada hati
Menangis dan tertawa lakonnya hidup
Tetaplah berlari, horizonkan memeluk erat
Selalu ada akhir dari kisah yang berawal

Sekali lagi Puan…
Tak usah cari damai
Ia tetap di sana
Hanya tak sadari ia bejaga disisimu
Menantimu tuk sadar bahwa ia selalu ada…

Kamis, Juli 31, 2008

Dawai

Dawai itu berdenting garang
Hendak marah…
Hendak teriak…

Teriak aku,
Menangis aku,

Coba berlari…
direntang gurun
Terbang
Ke pucuk awan

Malampun datang lindungi aku
Dalam benteng gelap dan pekat

Akupun berselimut kabut
Kemudian hilang
Dan tak ingin kembali

Rabu, Juli 30, 2008

Tersenyumlah

Luruhkan saja luka itu
Biarkan ia cepat menghilang
Bersama daun yang meranggas musim ini

Cepatlah bangkit bersama angin
Menyemai bahagia di kuntum yang mekar

Tertawa lah lagi…
Bersama mentari
Lewat kicau burung, bernyanyil

lelah

Lelah datang Mengungkungku
Hingga angin jatuh iba
Ia tuntun aku tertidur nyenyak
di buai sepoy yang bernyanyi

Pada semilir yang memeluk
Ku sambut damai dengan riang
Berharap sunyi menjadi teman
Menuntunku berlari dari lelah.

Cahaya

Ku ikuti alur takdirku berujung
Ku lalui arus nasib yang menghilir
Hingga ku temukan ada banyak cinta yang bercahaya
Berpendar indah disekelilingku.

Jangan Engkau Tutup hatiku akan Syukur
Tatap aku dengan Kasih Mu
Karena tiada yang kumau selain Cinta Mu….

Kamis, Juli 24, 2008

Selamat Pagi Cattlya

Pagi ini lantunan gema berkicau di kepalaku
menyebut-nyebut Cattlya dengan larik menghiba
kadang terdengar sunyi, kadang keras...bahkan menghentak

ada apa denganmu Cattlya?
hingga begitu ingin kurangkai syair untukmu
walau terkapar di ujung pena

Cattlya ...
Kapan murammu, kurasa hangat
mekarlah Cattlya
seperti tadai malam ketika engkau berkunjung ke mimpiku
di sana ku lihat engkau semerbak berbalut warna nan suci

Cattlya...
pagi ini ...tergesa ku lihat engkau
masih saja tertutup kabut,
tetap saja merindu genggam tangan
seakan mentari tak pernah hadir

SELAMAT PAGI CATTLYA

mekarlah...lupakan kuntum yang telah sirna.

Senin, Juli 21, 2008

Princess ku

Sudah empat hari Princess ku masuk Play Grup, awalnya rasa cemas demikan meraja ketika mengantarnya ke gerbang sekolahnya, menangiskah ia ketika aku hilang dari pandangannya?, takutkah ia pada lingkungan barunya?, tuluskah perhatian dan kelembutan yang di tujukan”Sang Bunda” pada Princessku ketika aku jauh darinya.

Ku tatap lagi wajah polosnya, duh…sungguh ingin aku memeluknya dan membiarkan terus berada di sisiku, ku pandangi bening bola matanya, duh…sungguh ingin aku selalu mencium gembul pipinya yang kemerahan dan tak biarkan sedetikpun ia hilang dari pandanganku.
Tapi Princess lebih kuat dari perkiraan ku, lebih tabah dari bayanganku, sungguh ia mampu merasakan betapa aku mencemaskannya sehingga dengan senyum lugunya dihapusnyalah semua gundah di hatiku, dengan mudahnya ia turut bergabung bersama siswa Play Grup lainnya, ia menyanyi dan menari dengan riang mengikuti gerakan Bunda Gurunya, tak sedikitpun membayang ketakutan di wajah polosnya, ia sangat gembira…
Bahkan ketika aku meninggalkannya untuk berangkat kekantor ia mencium takzim tanganku kemudian mencium pipiku dengan manja…tak terasa bulir bening itu mengalir deras di pipku..ya…Tuhan Terimakasih atas semua ini, atas semua karunia dan kebahagiaan yang begitu berlimpah yang Engkau berikan padaku.

Princess….
Maafkan Bunda ya…tidak bisa jadi Ibu yang sempurna untukmu, Bunda tak bisa mendampingi tiap detik hidupmu, seperti layaknya anak seusiamu yang masih selalu ingin bermanja tiap saat bersama Ibunya.

Princess…
Mungkin Bunda Egois, masih melanjutkan karier padahal Bunda sudah punya Princess yang Tuhan titipkan pada Bunda, tapi percayalah Princess, Bunda lakukan semua itu demi untukmu Princess, sehingga kelak ketika kau dewasa kau bisa merasakan bahwa Bundamu adalah Bunda yang mampu menyumbangkan sedikit pengetahuan yang Bunda miliki untuk kebaikan….

Princess…
Bukan berarti dengan Full day bersamamu, bunda tak bisa melakukan kebaikan, tapi Bunda Ingin suatu hari nanti Princess mengerti bahwa hidup ini Tuhan berikan tak hanya untuk diri kita sendiri, tapi ada hak dan bagian orang lain, yang Tuhan titipkan lewat tangan kita untuk membantu hamba Tuhan lainnya.

Princess… jadilah anak yang sholehah….
Tetaplah kuat, dan Tabah seperti harapan yang Bunda sematkan pada namamu, kebijasanaan yang Tuhan angerahkan untuk perempuan yang tabah dan Ulet.
Doa Bunda selalu menyertaimu sayang….

Kamis, Juli 17, 2008

Terimakasih

Tadi pagi ketika meluncur dikepadatan jalanan Panam, mengantarkan ibuku yang akan menjalani sebuah pelatihan di salah satu Hotel di Panam, aku menyempatkan diri mampir sejenak ke kampus UNRI, menyusuri kembali kampus “bina widya” yang hampir selama 3,5 menjadi tempat ku menabur begitu banyak harapan, tempat mendapatkan begitu banyak cinta dari orang-orang yang istimewa, di sana juga aku seolah “menemukan” diriku, menemukan arti persahabatan, keindahan masa remaja, dan tentunya belajar lebih mencintai Sang Pencipta.

Barisan pepohon yang berjejer rapat di Bina Widaya adalah saksi perjalananku, di setiap helai daunnya ku tulis asa ku tentang hidup, tentang gundah, tentang nestapa dan tentang bahagia yang mengalir. Betapa seluruh kenangan itu tersimpan rapi diketeduhan pepohonan yang kian kokoh menaungi Bina Widaya, dulu setiap pagi aku selalu berjalan sendiri memininta perlindungan di balik rerimbunan pepohanan, apalagi jika terik mentari tengah perkasa hanya pepohonan ini sahabat karib yang memayungiku dengan ketuduhan.

Dahannya yang kokoh selalu mengingatkanku pada sahabat-sahabatku di Bina Widaya, begitu beraneka namun melahirkan harmoni yang indah. Ada Verry yang feminim, dan selalu punya banyak energi untuk memperhatikan kami semua, sahabat-sahabatnya, bersama Verry jalanan Panam yang berdebu telah ku lalui bersamanya didampingi jupiter merah yang setia (masih ada lho Ver...lom di jual...rencananya akan di simpan sampai kapanpun tuk kenanng-kenangan), tentunya demi menyelesaikan skripsi yang terus saja menrengek-rengek minta di selesaikan. Kecerewetan Verrylah yang membuatku selalu bangkit tiap kali terjatuh dalam malas yang kronis.

Masih ku ingat betapa cinta seorang Verry pada sahabatnya demikian tulus, tanpa tembok, tanpa prasangka, bersamanya bisa ku rasakan ada banyak tempat di hatinya untuk kasih sayang dan cinta pada seseorang seperti aku, si itik buruk rupa yang jauh dari rumah, sehingga sedikit demi sedikit aku mulai dapat bergabung dengan komunitas the sosio 2000 dan membuang jauh-jauh perasaan minder dan ketakutan, membuatku mengerti bahwa teman-temanku adalah orang-orang yang tulus dan dapat menerima aku apa adanya, mereka adalah orang-orang yang toleran terhadap perbedaan yang paling prinsip sekalipun, bersamanya pula lagu-lagu indah terasa kian syahdu saat harus berjibaku melawan kantuk menyelesaikan deadline skripsi.(laluna: Bantu aku membencimu, ku terlalu mencintai mu) bahkan ketika jarak telah memisahkan kami ia masih mengingatku, dia rela mengejar-ngejar aku yang sudah duduk manis di Argo Gede bersiap meninggalkan Bandung menuju Jakarta, padahal saat itu aku tau kesibukan kerja demikian mengekangnya yang baru mulai membagun karir di Bandung, tapi demi aku yang sedang berlibur ke Bandung sempatkan diri menemuiku walau hanya sesaat (duh ngejar-ngejar kereta dengan stileto 7 cm lg)

Sejak adegan di stasiun kereta api itu, belum sekalipun kita di pertemukan oleh sang waktu, kesibukan masing-masing membuat kita terpenjara di hari-hari yang berlari demikan kencang. Hingga tak ku sadari hampir 3 tahun kita tak bertatap muka.
Namun kali ini adahal yang ingin ku ucapkan pada mu Ver…yang selama ini tak pernah sempat aku ucapakan “terimakasih Ver…sudah menjadi sahabatku, terimakasih sudah memberi warna di salah satu episode hidupku, andai Tuhan tak mentakdirkan pertemuan kita mungkin aku akan mengenang Bina Widaya dengan cara yang lain.
Duh Verry kapan ya… bisa membalas kebaikan-kebaikanmu…kapan ya bisa bersama-sama lagi, sungguh aku merindukanmu Verry IMOET….

Jumat, Juli 11, 2008

Adalah sepi yang berkabut putih
Berselimut pagi nan jingga

Bawakan setangkai kembang nan semerbak
Untuk hari yang lahir
Dalam kehidupan yang baru.

Adalah langit yang berwarna biru
Yang menghampar dalam diam
Tawarkan berjuta pesona
Untuk sang pecinta
Untuk sang kelana

Rabu, Juli 09, 2008

Cinta

Ketika mataku melahap sebuah tulisan seorang sahabat, tak terasa bulirnya ingin menetes, entah mengapa??? Tapi ada perasaan rindu yang tiba-tiba menghentak, rindu pada tepian Indragiri, rindu pada langit jingganya kala sore. sungguh ingin sekali kembali berlari kemasa lalu, pada masa yang begitu berwarna, ada suka yang membias indah, ada sedih yang berkabut tebal, ada pula area hampa yang tak tergambarkan.

Indragiri memang tak “indah”, tak ada gunung yang menjulang tinggi yang mampu membuat seseorang bertasbih menyebut nama Nya kala melihat kokohnya sang paku bumi, tak ada pula pantai yang landai dengan pasir putih yang menghapar berserta ombaknya yang dahsayat yang pastinya akan membuat semua orang yang melihatnya menyadari betapa indahnya lukisan Tuhan.

Tepian indragiriku hanya sebuah kota kecil, tak ada yang bisa membuat orang berdecak kagum kala menatapnya, ia bukan “gadis cantik” dengan segala pesonanya, ia tak pandai bersolek, polos dan lugu. Namun aku melihat kecantikannya dalam terminologi ku sendiri, ia kupandang indah dengan segala kesederhanaannnya, keindahahannya justru tanpa adanya indah dalam terminologi awam.

Ia indah ku pandang karena ia adalah rumah pemberian Tuhan untukku, jalinan nasib dan takdir yang Tuhan gariskan untukku, hak absolutNya lah yang bertitah bahwa aku dilahirkan di tempat itu, di besarkan dan bertumbuh dengan kultur yang berwarna. Sehingga hari ini aku terbiasa dengan aneka perbedaan, terbisa dengan berbagai stereotipe dan membukitikan bahwa streotipe tetaplah sebuah strereotipe yang hanya akan menjadi tembok penghalang untuk dapat merasakan kebaikan dan ketulusan orang lain. Aku juga terbisa dengan primodailisme, sehingga membuatku menarik hikmah bahwa Tuhan menurunkan Islam sebagai solusi dari semua itu.

Dibelahan bumi Allah mana pun saat ini kita berada, jika kita bersedia menghancurkan tembok yang mengalangi mata dan perasaan kita maka akan kita temukan ribuan tanda-tanda kebesaran-Nya, hanya terkadang kita terlalu sempit untuk memaknai keindahan ciptaaan-Nya, sehingga tanpa disadari terkadang kita lupa mengucap Asma-nya dalam “ketidakindahan” yang kita rasakan.

Di balik ketidak ramahan orang lain, mungkin Tuhan ingin kita menyadari betapa berharganya setitik keramahan yang bisa kita sebar, ditengah lingkungan yang tidak bersahabat mungkin ada “bonus” yang ingin ia berikan atas ketabahan hamba-Nya. di ganasnya terik mentari yang menyengat mungkin Tuhan ingin hambanya lebih sering mengingat-Nya.

Begitulah Indragiri mengajariku banyak hal, mengajariku lebih dekat pada-Nya dengan cara yang unik, mengajariku mencintai-Nya tanpa tendensi apapun, sehingga hari ini akupun dapat berucap syukur karena Tuhan memberikan “rumah” ini untukku, tempat aku selalu bisa pulang dan kembali mengisi rasa cintaku pada-Nya yang terkadang sedikit berkurang karena “keindahan-keindahan” yang terkadang membuat terlena. dan kembali pulang tentunya dapat menetap tepian Indragiri yang jingga kala sore yang selalu bisa kembali mengingatkanku betapa Tuhan selalu mencintai umat-Nya dan selalu memeberi pelajaran di setiap ciptaaanya.

Selasa, Juni 24, 2008

Hujan

Aku adalah rinai hujan yang riang...
yang tersenyum pada awan
yang tertawa pada angin

coba lihat pada rautku
bening mengalir walau deras mengujam

Dengarkan rintikku nan sunyi
gemercik bisu dalam diam abadi
dengarkan sabdaNya pada alam

duhai alangkah merdunya

lihat,
lihatlah lagi pada palangi
ia hadir bawa pesan

untukmu...
yang selalu menanti....