Jumat, November 28, 2008

Kolam Teratai

Nurani adalah cermin yang paling jujur walau terkadang kita berusaha untuk membuaramkan pantulannya, namun sekeras apapun kita berusaha bayang-bayang kejujuran itu akan tampak juga.

Itulah ucapan seorang sahabat yang tak aku lupakan, aku mengenang kalimat itu sebagai kalimat “cinta” seoarang sahabat yang ia goresakan pada sepotong kertas yang ku temukan secara tak sengaja di lipatan bukunya. Ternyata sahabat yang ku kenal dingin dan pendiam itu punya kemampuan meramu kata-kata menjadi kalimat yang indah. bahkan kala itu kalimat itu begitu menohok hati, seolah ia ingin aku jujur pada hatiku, bahwa ini lah kenyataan yang ada dan jangan pernah lari darinya.

Sebagai anak SMA biasa bahkan cendrung marjinal, aku adalah pribadi yang amat anti sosial, tak punya banyak teman, sangat individualistis, kesepian dan ingin lekas-lekas lari dari kenyataan, karena hidup kurasa tak ada indahnya dalam kaca mata remajaku,

Aku orang yang Tuhan anugrahi begitu banyak perbedaan dari manusia normal pada umumnya, bahkan sahabatku pernah bergurau yang lagi-lagi kurasa benar adanya. “ mungkin partikel-partikel itu tak pernah sampai padamu karena tertutup gelombang elektromaknetik orang-orang istimewa yang berada disekelilingmu” aku tersenyum saja kala itu, tapi jauh di lubuk hati aku berucap salah satu medan elektromagnetik itu adalah engkau sahabat, engkau terlalu istimewa sehingga, orang “berbeda” seperti aku akan tampak semakin aneh jika berada disisimu.

Itulah mungkin alasan kenapa aku memilih menjauh darimu, memilih menatapi kolam teratai saja saat bel istirahat berbunyi,tak lagi menanti datangnya surat-surat pembangkit semangat yang biasa terselip di laci meja kusamku, tak lagi menanti disket-disket berisi pertanyaan-pertanyaan yang kerap mengelitik dan membuatku ingin “sembuh”

Sahabat, satu-satunya yang tersisa dari memory masa SMA ku adalah engkau, orang yang selalu ingin kujajaki hatinya namun tak pernah ada jalan untuk memasukinya, engkau selalu menyediakan dirimu untuk semua keluh kesahku tapi tidak pernah “mempercayai” aku untuk menyimpan nestapamu. Sehingga dimataku kau adalah manusia yang paling bahagia. Hingga kini bahkan.

Mungkin pada saat itu engkau lebih memilih menyapaikan isi hatimu pada sepotong puisi atau cerpen-cerpen indah yang kau tulis dengan metafora yang indah, hanya saja aku terlalu naif untuk dapat membaca apa yang bersembunyi di palung hatimu. Sekali lagi aku aku bertanya pada hatiku, pantaskah aku mengkleim diri sebagai sahabatmu?

Begitulah aku yang teramat sibuk dengan diri sendiri, hingga mungkin melupakan bahwa kau juga manusia biasa yang tentunya punya perasaan sedih, gembira, hampa bahkan nestapa. Dan sekali lagi aku tak pernah mampu membaca hatimu.

Aku yang pada akhirnya memilih sendiri dan kau pun lamat-lamat menjauh dariku,hingga akhirnya kita hanyalah dua orang asing yang tak pernah saling mengenal. sungguh itu bagian terpilu masa SMA ku, kehilangan satu-satunya orang yang mampu membaca alur pikirku yang tak biasa. Mulai saat itu akupun semakin mencintai kolam teratai di sekolah kita, kala menatap kuntum-kuntum teratai, aku seperti menemukan dirimu disana, terpuruk di rawa yang kabut namun tetap saja indah.