Sebenarnya sudah sejak lama aku ingin menuliskan kisah ini, tapi kesibukan membenturkanku pada sebuah kata yang akhir-akhir ini kerap menguasi kosakataku “tidak sempat”, bahkan teman-teman sekantor kerap menjuluki waktu makanku dengan kata brealunch, maksudnya sarapan plus makan siang, maklum terkadang aku baru menyentuh makananan ketika arloji kesayangan hadiah ultah dari Hubby menunjukan pukul 11.00 teng, so apa namanya kalo bukan brealunch?
Tapi lagi-lagi kisah ini memanggil-manggil, bergelayut terus di otakku, terlebih kala mentap wajah bening sang nenek tua penjual kue yang biasa datang kekantorku, dengan sekeranjang penuh jajanan pasar, tubuh renta itu membawa baban yang demikian berat, walaupun aku tak mengerti matematika bahkan cendrung kesulitan dengan segala bentuk hitungan, namun sensor perasaanku berkata bahwa pastilah sang nenek kepayahan menjijinjing keranjang biru itu, bahkan tak jarang ku temui ia terengah-engah di Pos Satpam kantorku seraya menunggu pelanggan-pelanggan setianya menghampirinya.
Sesungguhnya aku teramat jarang berinteraksi dengan sang nenek, biasanya hanya melihatnya sekilas pandang mengelar dagangannya di kantorku, namun entah kenapa beberapa hari yang lalu hatiku seolah tergerus melihatnya, seorang nenek tua yang usianya mungkin sebaya nenekku. Harusnya ia sudah waktunya duduk manis di rumah menikmati segelas teh dan camilan kecil sambil menunggu kunjungan anak cucu, atau seperi yang lazim ku lihat ketika mengunjungi nenekku, mengaji dengan khusu kemudian dengan riang memamerkan aneka tamanan yang beliau rawat dengan tangannya sendiri.
Mengapa? Tentu pertanyaan itu yang bergema di benakku, ada banyak kemungkinan untuk jawaban pertanyaanku, namun hari itu ketika melihatnya sujud dalam sholatnya yang takzim, aku seperti tak lagi perlu tau kenapa hal seperti itu terjadi pada seoarang nenek tua, aku hanya melihat keriangan di matanya, ketulusan dari senyumnya yang damai, sepertinya aku menjadi lebih tertarik untuk merasakan energy dan semangatnya dalam bertahan hidup, dan tentunya aura keikhlasan yang memancar kuat dari dirinya.
Subhanallah, betapa ringan ia jalani hidup, betapa ia ikhlas ia lalui hari, tak ada keluhahan, tak ada permintaan belas kasihan, yang ia jalani hanyalah “lakon” begitu katanya ketika aku bertanya apa ia tidak lelah berdagang di usianya yang senja.
Tuhan…mendadak aku jadi sangat malu padaMu, betapa aku teramat banyak mengeluh untuk hal-hal sepele, mengeluhakan ketiadaan kenyamanan maksimal yang mampu kuraih.
Nenak tua yang tabah itu saja terus berjuang untuk hidupnya, padahal di jalanan banyak ku lihat pengemis yang kondisinya jauh lebih “baik” dari sang nenek, namun sang nenek tidak melakukannya karena ia percaya bahwa Tuhan menginginkan umatnya menjadi umat yang kuat, tidak cengeng dan pantang menyerah.
Tuhan jaga lah mata, hati dan telinga ku untuk dapat memungut hikmah dari semua kisah yang terbentang di bumiMu, jangan biarkan kesombongan menutup hatiku, jangan biarkan hingar bingar dunia mebutakan mataku, dan jangan biarkan kalpaan menulikan telingaku, bimbing aku Tuhan, untuk semakin dekat pada mau Mu, dan jangan biarkan mauku meraja dan mengaburkan arah yang engakau tunjukan padaku.
Minggu, Agustus 10, 2008
Langganan:
Postingan (Atom)