Ketika mataku melahap sebuah tulisan seorang sahabat, tak terasa bulirnya ingin menetes, entah mengapa??? Tapi ada perasaan rindu yang tiba-tiba menghentak, rindu pada tepian Indragiri, rindu pada langit jingganya kala sore. sungguh ingin sekali kembali berlari kemasa lalu, pada masa yang begitu berwarna, ada suka yang membias indah, ada sedih yang berkabut tebal, ada pula area hampa yang tak tergambarkan.
Indragiri memang tak “indah”, tak ada gunung yang menjulang tinggi yang mampu membuat seseorang bertasbih menyebut nama Nya kala melihat kokohnya sang paku bumi, tak ada pula pantai yang landai dengan pasir putih yang menghapar berserta ombaknya yang dahsayat yang pastinya akan membuat semua orang yang melihatnya menyadari betapa indahnya lukisan Tuhan.
Tepian indragiriku hanya sebuah kota kecil, tak ada yang bisa membuat orang berdecak kagum kala menatapnya, ia bukan “gadis cantik” dengan segala pesonanya, ia tak pandai bersolek, polos dan lugu. Namun aku melihat kecantikannya dalam terminologi ku sendiri, ia kupandang indah dengan segala kesederhanaannnya, keindahahannya justru tanpa adanya indah dalam terminologi awam.
Ia indah ku pandang karena ia adalah rumah pemberian Tuhan untukku, jalinan nasib dan takdir yang Tuhan gariskan untukku, hak absolutNya lah yang bertitah bahwa aku dilahirkan di tempat itu, di besarkan dan bertumbuh dengan kultur yang berwarna. Sehingga hari ini aku terbiasa dengan aneka perbedaan, terbisa dengan berbagai stereotipe dan membukitikan bahwa streotipe tetaplah sebuah strereotipe yang hanya akan menjadi tembok penghalang untuk dapat merasakan kebaikan dan ketulusan orang lain. Aku juga terbisa dengan primodailisme, sehingga membuatku menarik hikmah bahwa Tuhan menurunkan Islam sebagai solusi dari semua itu.
Dibelahan bumi Allah mana pun saat ini kita berada, jika kita bersedia menghancurkan tembok yang mengalangi mata dan perasaan kita maka akan kita temukan ribuan tanda-tanda kebesaran-Nya, hanya terkadang kita terlalu sempit untuk memaknai keindahan ciptaaan-Nya, sehingga tanpa disadari terkadang kita lupa mengucap Asma-nya dalam “ketidakindahan” yang kita rasakan.
Di balik ketidak ramahan orang lain, mungkin Tuhan ingin kita menyadari betapa berharganya setitik keramahan yang bisa kita sebar, ditengah lingkungan yang tidak bersahabat mungkin ada “bonus” yang ingin ia berikan atas ketabahan hamba-Nya. di ganasnya terik mentari yang menyengat mungkin Tuhan ingin hambanya lebih sering mengingat-Nya.
Begitulah Indragiri mengajariku banyak hal, mengajariku lebih dekat pada-Nya dengan cara yang unik, mengajariku mencintai-Nya tanpa tendensi apapun, sehingga hari ini akupun dapat berucap syukur karena Tuhan memberikan “rumah” ini untukku, tempat aku selalu bisa pulang dan kembali mengisi rasa cintaku pada-Nya yang terkadang sedikit berkurang karena “keindahan-keindahan” yang terkadang membuat terlena. dan kembali pulang tentunya dapat menetap tepian Indragiri yang jingga kala sore yang selalu bisa kembali mengingatkanku betapa Tuhan selalu mencintai umat-Nya dan selalu memeberi pelajaran di setiap ciptaaanya.