Senin, Februari 22, 2010

tentang sebuah akhir

Tertarai putih di kolam yang bening
di tatapnya aku
di sapanya aku
lewat diam saja isyarat itu sampai padaku

lewat bingkai jendela
hujan mampir padaku
membisikan sebuah cerita
tentang semesta yang jauh

seperti teratai yang tak dapat beranjak
akupun diam dibalik jendela

menatap saja
bergumam lirih

mengirim kabar pada bening matamu

kemudian berpaling engkau
dan perlahan menghampiri hujan
bersenda bersama rinainya

dan...

terlewati saja kata yang harusnya tak bisu

aku...

Mencari celah lewat senyummu

Waktu tak ingin bersama ku
Usai sudah semua kisah
Tak ada tempat lagi untuk tuturku pada hatimu

Kini...

Bukan hanya isyarat yang tak pernah mampu mampir padamu
Tapi lautanpun memihak nestapa
Gunungpun menjadi partisi
Kokoh nian
Sangat tegar

Ahhhh....Mindamu berkelana
Tak lagi pernah pulang
Tak lagi penah melongok delta
Terus saja dipuncak gunung

Ku...

Terpaku saja...

sebuah kisah

lewat kaca buram itu ia menatap
tertutup rentang yang jauh
terlalu banyak debu menempel
lalu berharap jadi sebati

lewat bening mata itu aku mengintip
ada sebongkah duka mampir disana
dan sekeping bahagia yang berbingkai indah

pada siapa kutanya
apa kabar hati??
apa kabar??

Lewat tatap mata itu ku dapat jawab

Tentang kabut yang datang perlahan
Juga tentang embun yang sejuk

Tak pernah ranting rindukan pohon
Ketika terlepas dari dahannya
Berlalu saja ia....
Lewat doa akan tumbuh ranting-ranting baru

disuatu titik

Aku dilahirkan sebagai anak tengah, kemudian terbiasa menjalani hidup dipertengahan pula, tidak terbiasa menjadi pusat perhatian, tidak pula biasa menjadi yang pertama walau juga tak sudi menjadi yang terakhir, dengan semua yang serba tak mencolok itulah aku menjalani hidup dan sangat akrab dengan kehidupan yang serba biasa saja.

Ketika orang lain terbiasa dengan sanjung puja, aku justru merasa amat asing dengan ritual itu, ketika orang lain terbiasa menjadi pusat perhatian aku justru aneh jika berada dalam posisi itu, hal itu telah mendarah daging dalam hidupku, hingga menjadi hal wajar jika bertemu seseorang yang pernah menjalani hidup dalam priode yang sama, terkadang tak pernah menyimpanku dalam memorinya hingga biasa saja jadi orang yang mengenali orang lain tapi sama sekali tak dikenali,sungguh aku terbiasa tidak dikenali oleh lingkunganku.

Suatu ketika nasib membawaku pada sebuah posisi yang membuatku seperti lampu yang tengah dikerumuni oleh laron, sungguh itu sebuah posisi yang tak nyaman untuk orang yang terlalu terbiasa dengan kehidupan yang datar, aha....tiba-tiba aku justru bertanya dalam hati’ Hei...dia sungguh-sungguh mengenali ku???’bukankah pada pertemuan terakhir yang lalu dia bertanya dengan dengan kening berkerut “siapa ya’

Terkadang amat sulit menyesuaikan diri dengan posisi baru ini, butuh ribuan jarum akupuntur untuk membuat syaraf-syarafku bereaksi dengan lingkungan sekitar yang sekarang seolah menjadi amat akrab denganku...

Keakraban itu sungguh asing, ia justru membuatku seolah berjalan seorang diri diruang hampa, Aku tak dapat merasakan apapun hanya melihat sekeliling bak mimpi yang tak mampu ku jamah.

Berusaha mencari jangkar realitas agar aku tetap tertambat ditempatku, mencari lagi keping-keping keakraban masa lalu, membuka lagi beberapa file lama yang benar-benar mengenggam hatiku, hasilnya memang hanya kutemui lembaran tipis saja yang membuatku merasa amat akrab dengan ekosistemku

juli

Juli dalam kenangan

Juli baru saja berjejak
Namun seperti senja yang membias jingga
Pertanda hampir tiba malam
Juli juga pertanda
Sang waktu akan menjauh

Juli....
Kali terakhir kita terikat dalam tawa

dan
Juli, pada harinya yang kesekian
Lewat kartu hijau itu
ku tumpahkan secala asa
untukmu yang kian cemerlang

setelah itu terasa sunyi
terenggut sudah cerahnya pagi
dan Agustus datang membawa wajah baru.
lalu Setember, Oktober, November hingga Desember