Rabu, Agustus 20, 2008

Hujan di Siang itu...

Hujan… sesorang pernah bertutur padaku betapa hujan membangkitkan kenangannya pada seseorang, mungkin jika ia ada disini dan menatap hujan dari balik jendela, tak hanya terkenang, ia juga pasti menanamkan sejuta asa tentang hujan kali ini. semoga saja kabut asap segera berlalu, semoga saja Koto Panjang kembali tergenang, tapi hujan tak lama mampir, hanya sekeder singgah di bumi gersang yang teramat rindu pada desau hujan yang merdu.

bersinku tak kunjung reda, terus saja ia menggodaku, mungkin sebentar lagi flu hendak datang berkunjung padaku, tamu rutin yang datang tiap kali jerebu merajai kota, apa hendak dikata, inilah duniaku, inilah habitatku kini, tempat yang Tuhan gariskan untuk aku menjalani sisi usia yang ia titipkan padaku, entah sampai kapan?

Sampaikah aku seusia para veteran dan warakauri yang dua hari terakhir menjadi pemadangan setiaku di kantorku. Tuhan…inilah mereka yang dulu angkat senjata melawan penjajah, tak kulihat kemilau harta di tubuh renta mereka, tak ku dapati julang sanjungan yang melekat di nama mereka, hanya tubuh-tubuh renta yang penuh semangat, seolah dapat ku saksikan tangan-tangan keriput inilah dulu yang merintis alam merdeka.

Bapak hanya orang biasa, yang membantu seadanya, demikian ucap si Bapak ketika aku bertanya tentang pertempuran yang ia lalui. Pahlawan sejati memang tak ingin ia sanjung puja, bahkan tidak pula pamer kehebatan masa lalu, “semua milik masa lalu” ucap beliau getir. emmm…tak banyak orang yang menolak bernostalgia ke masa jayanya.

Akhirnya aku berlalu, sembari meninggalkan raungan bersin yang kian ganas, sekilas pandang ku lihat sang Bapak berjalan pulang menaiki angkutan kota, seorang diri saja, di temani tongkat hitam yang mengawal langkahnya yang tertatih. Subhanallah… biarlah semua kenangan itu jadi milik beliau saja, semoga Engkau menjaga beliau Ya Allah…, Entahlah, aku kehabisan kata-kata, yang tersisa cuma butiran bening yang menghangat di pipiku.

Marx…tiba-tiba saja aku terkenang pada persahabatanmu dengan Angels, persahabatan yang indah hingga akhir hayat, sunyi jalan yang kau tempuh tentu mengadirkan sebuah symponi dengan hadirnya Angels. Tapi si Bapak hanya sendiri saja bertemankan tongkat hitam andai saja ada seorang Angels untuknya…..

Harus kubuang persaan teralienasi ini jauh-jauh, biarlah aku hanya mampu mengerjakan sebuah bagian kecil yang sebuah produk yang besar, biarlah, tak seorangpun tahu akulah sang pembuat baut kecil yang ikut mengerakkan sebuah mesin, semoga saja ia bermanfaat untuk orang banyak dan suatu hari walau ditelan kesunyian aku tetap dapat melihat semua berjalan sebagimana mestinya walau tak ada seorang proletar seperti aku. Semoga saja....dan sekali lagi tentang pelajaran keikhlasan.