Denting gerimis kudengar pilu, lamat-lamat menghasikan dentangan yang berima, aku terjaga dari tidurku, dan mendapati sang waktu di dua pertiga malam, sang kantuk tiba-tiba saja beranjak pergi, menghilang begitu saja, membiarkan aku duduk sendirian dengan desau angin yang terus saja memenuhi pendengaranku, memaksaku mengamati sekeliling, mencari sedikit kelegaan, yang harusnya bermuara menjadi rasa syukur atas kehidupan yang masih Tuhan sematkan didiriku.
Sebuah tanya mampir padaku malam ini, tentang waktu yang berlalu, tentang orang-orang yang mampir di hidupku, kemudian setelah bertahun-tahun kembali lagi, namun dalam settingan yang berbeda, apa yang aneh? Tentu saja hal itu adalah hal biasa dalam daur hidup manusia, layaknya seperti azaleaku yang kadang mekar demikan rindang dan lain waktu menolak bersolek, atau seperti hujan yang kadang-kadang datang begitu saja, lalu pergi.
Aku mencoba untuk memejamkan mata, merunut satu demi satu rangkaian peristiwa akhir-akhir ini, amat sulit membuat kesimpulan yang objektif, kesimpulan yang adil, jauh dari prasangkaku, jauh dari egoku, jauh dari hal-hal yang sesungguhnya belum ku pahami benar. Aku tak ingin buru-buru kali ini, mencoba kembali melihatnya dari berbagai sudut, semoga saja ku temukan bintang polaris, yang setia menuntun arah, sekalipun aku seringkali mengalami disorientasi ruang dan waktu, namun setitik kerlipnya ku harap mampu menerangi jalanku.
Ku tatap lagi sebuah gambar, disana ku lihat bidadari itu tersenyum tulus, amat tulus, senyumnya merekah lebar, mungkin seperti hatinya yang berbinar, menikmati seulas waktu bersamaku, hingga bisa melihat lautan lampau yang menyimpan sebuah episode pendek tentang seseorang yang membuat senyumnya merekah. Lagi-lagi aku memejamkan mata, berharap potongan-potongan kenangan itu terrekonstruksi diotakku, disana kutemukan, sosok itu, tersenyum lewat binar matanya, ia yang kunamai sang mercusuar, sungguh dalam ingatanku ia bermetamarfosis demikian cepat, menjadi sosok yang membuat begitu banyak orang sepeti sang bidadari dengan senyuman merekah menantinya dalam diam, dengan harapan yang membuncah namun kadang juga hampa.
Aku mengerti langkah yang engkau ambil sang mercusuar, sungguh amat mengerti, bahwa tak ada langkah yang ekstrim dalam kisah ini, tak ada hijab yang tegas dalam cerita ini, engkau memainkan peran dengan amat baik, membuat kisah ini menjadi seperti tanpa duka, berharap semua orang menemukan jalannya, hingga tak harus dirimu yang bertutur tentang segara yang selalau engkau harapkan ditemui dalam perjalananmu, dan segara itu berkemungkinan tidaklah berada sedekat itu denganmu.
Aku tersenyum amat pilu, menatap lagi potret bidadari dengan senyuman merekah itu, TUHAN....apa yang dapat kulakukan? Sungguh terjebak diantara para pengagum itu tidaklah mudah, ada kepiluan setiap kisah berfluktuasi, tapi terkadang logika amat gampang terkaburkan ketika hati mengambil alih kendali, dan sepanjang perjalanan aku kembali mendengar sang bidadari menyebut-nyebut namanya dengan mata berbinar.
Entah kalimat apa yang ingin kurangkai, semua bergemuruh diotakku, haruskah ku tutun sang bidadari melihat halaman frienster lama, melihat profil seseorang yang dengan sangat berat ingin kukatakan, dialah satu-satunya yang pernah ia kisahkan padaku, seseorang yang ia nanti dengan dengan melawan sang waktu.
Banyak hal sesungguhnya yang ingin ku katakan padamu bidadari, tapi biarlah sedikit clue itu menuntunmu pada kenyatan, semoga saja engkau bisa menemukan jalanmu, hingga akhirnya menemukan tempat indah yang engkau impikan. Hingga kisah ini dikemudian hari dapat kita kenang bersama sebagai kisah yang banyak mempersatukan banyak orang.
Untukmu yang kunamai sang mercusuar, jika engaku membaca tulisan ini, ku harap engaku mempertimbangkan apa yang pernah ku sampaikan padamu, walau aku tau aku tidak ada dalam list untuk dimintai pendapat, izinkan aku berkata, ini bukan hanya tentangmu, atau kebahagiaanmu, bukan pula tentang kesempurnaan, ini hanya kisah sepenggal hati, tak butuh terlalu banyak arimatika, ataupun program-program rumit, tak perlu pula sampai harus menciptakan alat baru bahkan penemuan baru layaknya einstein. Ini “hanya” persoalan menemukan sesuatu yang pas, yang sesungguhnya berada tidaklah amat jauh darimu.
Sungguh belum ketemukan kalimat yang tepat untuk akhir kisah, namun sungguh aku berharap mampu membuat dokumentasi yang baik tentang kisah ini, hatiku berkata aku ingin akhir yang bahagia untuk kalian semua, maafkan jika aku terlalu lancang, namun biarlah sang waktu yang akan menjawab mengapa kisah ini aku tuliskan.
4/1/2010..........kerlip senyum sang bidadari
Selasa, Januari 04, 2011
Langganan:
Postingan (Atom)