Minggu, Desember 26, 2010

azalea

Pagi ini saya berharap ada kuntum azalea yang akan mekar, tersenyum pada saya dan menebarkan aura dingin dihari saya, Seperti pagi-pagi sebelumnya saya menatap pagi ini dengan mengamati dedaunan yang berjatuhan di hadapan jendela kamar saya, ringan saja sepertinya angin menerbangkan sang daun, hingga sang daun terpisah dari sang dahan, namun seperti pagi-pagi sebelumnya selalu ada tunas-tunas baru yang mengantikan yang pergi, hingga saya tak pernah melihat sang pohon merana di tinggalkan daun, sekalipun d musim kemarau tetap saja tunas-tunas itu bertumbuh dengan subur.

Entah mengapa akhir-akhir ini sayapun kerap mengamati kehidupan disekitar saya, begitu banyak yang pergi dan begitu banyak yang datang, dan kepergian kini semakin jarang menimbulkan kesedihan, demikian juga kedatangan tak lagi mampu membangkitkan semangat baru dalam kehidupan, yang saya lihat begitu banyak mendung yang memajang dirinya di langit, hingga melihat biru membalut langit adalah hal yang amat saya rindukan akhir-akhir ini.

Seorang teman terserang kanker paru stadium empat dan sekarang sedang menjalani kemotherapy, sudah lima bulan berlalu, saya masih melihat harapan berkobar dimatanya tiap kali kami datang berkunjung, namun seperti yang saya rasakan akhir-Akhir ini ketidakhadirannya hanyalah perbincangan sesaat dan semua orang kembali melupakan bahwa ada seseorang yang tengah berjuang mempertahankan kehidupannya, demikian juga kedatangan orang-orang baru, rasanya seperti angin, sebentar saja menghasilkan efek yang mampu membuat seseorang berpaling dari fokusnya, kemdian kembali lagi tengelam dalam dirinya.

Mendung itulah yang saya rasakan, sulit sekali menjelaskan perasaan seperti apa itu, dikatakan mendung adalah kesedihan rasanya juga kurang pas, karena semua warga kota ini membenci terik dan amat sering menanti datangnya mendung.
Atau saya katakan saja perasaan saya seperti orang yang sedang berhibrenasi, tak lagi sensitif seperti dulu, saya menengelamkan diri saya dalam mendung, membiarkan rasa peduli dan kehilangan itu menjadi hal yang biasa, ya, saya seperti ingin menjadi batu saja, kenapa? Entahlah mungkin karena kecewa, tapi ini bukan zaman untuk kecewa dan merajuk tak menatu, ini adalah masa dimana saya harus mampu menjadi diri saya yang dulu, diri saya yang termat kebal pada pengabaian sekitar pada keberadaan saya. Diri saya yang tak pernah menciptakan relasi berlebih diluar diri saya.

Tapi salahkan jika saya kecewa, bukankah saya hanyalah manusia biasa, yang pada saat itu amat sangat membutuhkan seseorang melihat saya sebagai orang yang rapuh, salahkah saya jika pada yang terkasih saya hanya mampu memperlihatkan saya yang tegar, saya hanya ingin belahan jiwa saya tetap sehat dan tetap bertumbuh dengan normal, tanpa harus merasakan kepediahan dan ketakukan yang saya rasakan terhadap sesuatu yang menjalar dan pelan-pelan merusak daya hidup saya.

Saat itu saya ingin sekali menagis di ujung telpon, bercerita padanya yang saya anggap adalah seseorang yang berbeda dari manusia sekitar saya, saat itu ingin sekali berkata, bahwa kesediahan yang ia rasakan sama besarnya seperti yang saya rasakan, dan bisakan kita saling membantu untuk saling menyembuhkan luka.
Ketika harapan saya menjadi angin, lagi-lagi saya hanya menemukan “Tali Rapia” di sana, ah tali rapia, saya memang tak pernah bisa leapas ikatan itu dari jemari saya, persis sama ketika saya dan dia pertama kali Tuhan pertemukan lewat sebuah momen yang bahkan tak pernah ada dalam memory otak saya sampai seseorang menceritakan pada saya bahwa momen tali rapia yang saya benci itu adalah momen pertama kali Tuhan menurunkan sahabat untuk saya, Sahabat yang selalu saya minta dalam doa saya pada Tuhan.

Dia yang tak lelah meladeni keluhan saya tentang pengambilalihan hidup saya hingga daya hidup saya rasanya kian hari kian lemah, Harusnya dia pergi, menjauh juga sepeti sang pujangga yang sedang terluka itu, tapi ia menyediakan sedikit celah untuk saya, Saya yang tak pernah memberi kontribusi dalam hidupnya.
Tuhan rasanya ingin saya mengulang doa, Tuhan bolehkah saya memiliki sahabat seperti sang tali rapia, tetapi berjenis seperti saya, setidaknya supaya tidak ada fitnah Tuhan, tapi saya tiba-Tiba tersadar, sudah terlalu banyak yang saya pinta pada Tuhan, biarlah kali ini saya tidak terlau manja PadaNya, menikmati saja tiap karunianya tanpa banyak berkomentar, bukankah ia yang maha pengasih, memiliki stock kasih tak terbatas hingga saya tak perlu takut tak ada seorangpun yang akan mendengarkan keluhan saya tentang perlawan saya untuk mendapatkan daya hidup kembali. Saya yakin suatu hari Tuhan akan menunjukan sendiri pada saya bahwa saya telah ia berikan segalanya, hanya menunggu proses supaya saya tersadar bahwa demikan banyak berkat yang Ia berikan pada saya.

Untuk si ‘tali rapia’ saya tak pernah mampu berkata sepatahpun tentang betapa inginnya saya tetap menjadi Sahabatnya seumur hidup, dan tak lagi berusaha mengatinya dengan yang lain hanya karena terlahir dengan fitrah berbeda, persahabatan adalah soal ketulusan itu saja, tak ada alasan, tak ada pertimbangan, SEMOGA SAJA SAYA BISA SETULUS ITU PADA MU TALI RAPIA....



20/10/2010
Menunggu sang waktu tepat pukul 16.00

Tidak ada komentar: