Sepanjang perjalanan menuju kantor pagi ini saya berpikir, tentang ribuan kilometer jarak yang memisahkan saya dari Ibu, jarak yang kata banyak orang dapat dihadang dengan komunikasi canggih masa kini, namun pagi ini saya tak ingin berkomunikasi lewat telpon dengan Ibu, saya hanya mencoba membayangkan wajah Ibu saya, perempuan agung yang melahirkan dan membesarkan saya dengan caranya sendiri, perempuan yang mengajarkan kepada saya tentang cara bertahan hidup di tengah kesendirian. Ia perempuan yang memilih mebiarkan saya berusaha untuk menapaki jalan saya, tanpa perlu sokongan dari siapapun kecuali diri saya sendiri dan tentunya doa tulus ayah ibu saya.
Saya sejak kecil tidak terbiasa tergantung pada siapun, sejak kaki mungil saya menginjak sekolah Taman kanak-kanak saya justru sudah mampu menunjukan sikap saya sendiri, ketika itu, mungkin salah satu fase tersulit dalam hidup Ibu saya, harus mengurus 3 anak sekaligus harus menapaki karir, tanpa pembantu, ataupun keluarga lain yang ikut membantu urusan domestik keluarga kami sebagaimana layaknya wanita karir. Ibu saya harus bangun pagi-pagi sekali menyiapkan segala keperluan kami sebelum saya diantar ayah saya ke sebuah taman kanak-kanak, tapi karena ayah saya bertugas di sebuah daerah terpencil yang harus ditempuh dengan pompong, hal itu tidak memungkinkannya untuk menjemput saya dari taman kanak-kanak ketika bubaran sekolah, demikian juga Ibu tempat tugasnya terlalu jauh untuk di tempuh dengan sepeda dalam waktu istirahat yang singkat.
Pilihan pun dijatuhkan dengan menitipkan saya pada tante, kakak Ibu yang tidak memiliki anak dan kebetulan ia hanya berjualan pada sore hari, namun entah apa alasannya ia juga tidak bisa menjemput saya pulang sekolah, maka saya yang berusia 5 tahun saat itu harus berjalan kaki sendirian menuju kediaman tante saya, cukup jauh perjalanan itu untuk seoarang gadis kecil seperti saya, terlebih mata kecil saya saat itu harus melihat teman-teman saya dijemput oleh orang-orang terkasihnya atau menaiki becak Ajo yang sarat muatan, saat itu, naik becak Ajo adalah hal yang keren untuk ukuran anak Tk di zaman saya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah tante saya, saya kerap berhayal, hayalan sederhana saja, saya adalah salah satu dari anak yang menaiki becak sarat muatan itu, atau saya berhayal bisa berjalan lebih jauh lagi untuk dapat kembali ke rumah saya sendiri bukan rumah Tante saya, dan saya juga berhayal saya akan seperti dr. Sartika, tokoh dalam seri TVRI yang dulu amat populer, saya berhayal saya adalah gadis muda yang mengendari mobil kemanapun saya pergi, padahal di era di kota kecil kami mobil adalah barang langka.
Hayalan itulah yang mengantarkan saya menapaki selangkah demi selangkah kaki saya menuju rumah tante saya, langkah yang amat berat dan sulit, karena sesungguhnya sebagai anak kecil berusia 5 tahun, saya adalah anak kecil yang ingin dibujuk dan tentu saja ingin mendengar tutur lembut, namun tante saya tak dapat menyelami jiwa kanak-kanak saya, ia seoarang yang saklek dan sangat disiplin, segala sesuatunya harus serba teratur, bersih dan cepat, jiwa kanak-kanak saya tak merasa nyaman berada disana dan pada usia 5 tahun saya pertama kali memutuskan hal yang kontroversial utuk hidup saya.
Suatu hari dada saya terasa amat sesak, seolah waktu pulang sekolah adalah penjara untuk jiwa kanak-kanak saya, jiwa saya ingin bebas, ingin menari bersama angin, ingin menapakkan kaki saya pada bumi, tak takut kotor tak takut debu, dan saya memutuskan untuk tidak pulang ke rumah tante saya hari itu, saya memilih untuk diam saja di sekolah, sambil terus bermain, sementara satu persatu teman saya beranjak pulang, saya terus dan terus saja bermain sembari berhayal, aku adalah angin, aku adalah belukar, aku adalah tanah yang becek, atau apa saja selain gadis kecil berusia 5 tahun.
Saya tidak ingat detailnya, tentang respom guru-guru saya, yang terekam dalam benak saya tante saya akhirnya datang menjemput saya, dengan kekhawatirannya ia memarahi saya, mungkin hanya bahasa kemarahan yang ia miliki untuk mengeksprsikan rasa sayangnya akibat kebandelan sang gadis kecil berumur 5 tahun itu.
Lagi-lagi saya tak ingat detailnya, yang saya ingat akhirnya ibu saya memutuskan sepulang sekolah, saya tak lagi harus menapaki jalan kartini itu seoarang diri, saya akan pulang ke rumah saya sendiri dan tentunya dengan naik becak, walau bukan naik becak ajo yang dimata saya saat itu sangat keren, Tapi setidaknya saya naik becak.
Jika mengingat itu saya tertawa, ternyata sejak kecil saya punya jiwa pemberontak, sejak kecil saya sudah mampu “BERDEMO” dengan cara saya, dan itu adalah berkat Ibu saya yang mendidik saya untuk mengikuti hati saya, walaupun terkadang Ibu sendiri akan kewalahan dengan dengan sikapp teguh saya, tapi sepertinya Ibu tidak pernah menyesal membesarkan, saya yang hari ini dengan iringan doa ibu berhasil mewujudkan khayalan masa kecil saya, walau hari ini saya bukan dokter,hari ini saya hanya karyawan biasa namun seperti mimpi kanak-kanak saya Finally saya mengendarai mobil saya sendiri, ya mobil saya sendiri, bukan mobil suami saya, atau mobil keluarga saya, ya mobil saya sendiri tepat seperti kahyalan saya, terimakasih Ibu, saya yang pemberani ini adalah anak Ibu yang perkasa....
21/10/2010
di tatap sama anak magang membuat cerita ini jadi lebih singkat
Minggu, Desember 26, 2010
azalea
Pagi ini saya berharap ada kuntum azalea yang akan mekar, tersenyum pada saya dan menebarkan aura dingin dihari saya, Seperti pagi-pagi sebelumnya saya menatap pagi ini dengan mengamati dedaunan yang berjatuhan di hadapan jendela kamar saya, ringan saja sepertinya angin menerbangkan sang daun, hingga sang daun terpisah dari sang dahan, namun seperti pagi-pagi sebelumnya selalu ada tunas-tunas baru yang mengantikan yang pergi, hingga saya tak pernah melihat sang pohon merana di tinggalkan daun, sekalipun d musim kemarau tetap saja tunas-tunas itu bertumbuh dengan subur.
Entah mengapa akhir-akhir ini sayapun kerap mengamati kehidupan disekitar saya, begitu banyak yang pergi dan begitu banyak yang datang, dan kepergian kini semakin jarang menimbulkan kesedihan, demikian juga kedatangan tak lagi mampu membangkitkan semangat baru dalam kehidupan, yang saya lihat begitu banyak mendung yang memajang dirinya di langit, hingga melihat biru membalut langit adalah hal yang amat saya rindukan akhir-akhir ini.
Seorang teman terserang kanker paru stadium empat dan sekarang sedang menjalani kemotherapy, sudah lima bulan berlalu, saya masih melihat harapan berkobar dimatanya tiap kali kami datang berkunjung, namun seperti yang saya rasakan akhir-Akhir ini ketidakhadirannya hanyalah perbincangan sesaat dan semua orang kembali melupakan bahwa ada seseorang yang tengah berjuang mempertahankan kehidupannya, demikian juga kedatangan orang-orang baru, rasanya seperti angin, sebentar saja menghasilkan efek yang mampu membuat seseorang berpaling dari fokusnya, kemdian kembali lagi tengelam dalam dirinya.
Mendung itulah yang saya rasakan, sulit sekali menjelaskan perasaan seperti apa itu, dikatakan mendung adalah kesedihan rasanya juga kurang pas, karena semua warga kota ini membenci terik dan amat sering menanti datangnya mendung.
Atau saya katakan saja perasaan saya seperti orang yang sedang berhibrenasi, tak lagi sensitif seperti dulu, saya menengelamkan diri saya dalam mendung, membiarkan rasa peduli dan kehilangan itu menjadi hal yang biasa, ya, saya seperti ingin menjadi batu saja, kenapa? Entahlah mungkin karena kecewa, tapi ini bukan zaman untuk kecewa dan merajuk tak menatu, ini adalah masa dimana saya harus mampu menjadi diri saya yang dulu, diri saya yang termat kebal pada pengabaian sekitar pada keberadaan saya. Diri saya yang tak pernah menciptakan relasi berlebih diluar diri saya.
Tapi salahkan jika saya kecewa, bukankah saya hanyalah manusia biasa, yang pada saat itu amat sangat membutuhkan seseorang melihat saya sebagai orang yang rapuh, salahkah saya jika pada yang terkasih saya hanya mampu memperlihatkan saya yang tegar, saya hanya ingin belahan jiwa saya tetap sehat dan tetap bertumbuh dengan normal, tanpa harus merasakan kepediahan dan ketakukan yang saya rasakan terhadap sesuatu yang menjalar dan pelan-pelan merusak daya hidup saya.
Saat itu saya ingin sekali menagis di ujung telpon, bercerita padanya yang saya anggap adalah seseorang yang berbeda dari manusia sekitar saya, saat itu ingin sekali berkata, bahwa kesediahan yang ia rasakan sama besarnya seperti yang saya rasakan, dan bisakan kita saling membantu untuk saling menyembuhkan luka.
Ketika harapan saya menjadi angin, lagi-lagi saya hanya menemukan “Tali Rapia” di sana, ah tali rapia, saya memang tak pernah bisa leapas ikatan itu dari jemari saya, persis sama ketika saya dan dia pertama kali Tuhan pertemukan lewat sebuah momen yang bahkan tak pernah ada dalam memory otak saya sampai seseorang menceritakan pada saya bahwa momen tali rapia yang saya benci itu adalah momen pertama kali Tuhan menurunkan sahabat untuk saya, Sahabat yang selalu saya minta dalam doa saya pada Tuhan.
Dia yang tak lelah meladeni keluhan saya tentang pengambilalihan hidup saya hingga daya hidup saya rasanya kian hari kian lemah, Harusnya dia pergi, menjauh juga sepeti sang pujangga yang sedang terluka itu, tapi ia menyediakan sedikit celah untuk saya, Saya yang tak pernah memberi kontribusi dalam hidupnya.
Tuhan rasanya ingin saya mengulang doa, Tuhan bolehkah saya memiliki sahabat seperti sang tali rapia, tetapi berjenis seperti saya, setidaknya supaya tidak ada fitnah Tuhan, tapi saya tiba-Tiba tersadar, sudah terlalu banyak yang saya pinta pada Tuhan, biarlah kali ini saya tidak terlau manja PadaNya, menikmati saja tiap karunianya tanpa banyak berkomentar, bukankah ia yang maha pengasih, memiliki stock kasih tak terbatas hingga saya tak perlu takut tak ada seorangpun yang akan mendengarkan keluhan saya tentang perlawan saya untuk mendapatkan daya hidup kembali. Saya yakin suatu hari Tuhan akan menunjukan sendiri pada saya bahwa saya telah ia berikan segalanya, hanya menunggu proses supaya saya tersadar bahwa demikan banyak berkat yang Ia berikan pada saya.
Untuk si ‘tali rapia’ saya tak pernah mampu berkata sepatahpun tentang betapa inginnya saya tetap menjadi Sahabatnya seumur hidup, dan tak lagi berusaha mengatinya dengan yang lain hanya karena terlahir dengan fitrah berbeda, persahabatan adalah soal ketulusan itu saja, tak ada alasan, tak ada pertimbangan, SEMOGA SAJA SAYA BISA SETULUS ITU PADA MU TALI RAPIA....
20/10/2010
Menunggu sang waktu tepat pukul 16.00
Entah mengapa akhir-akhir ini sayapun kerap mengamati kehidupan disekitar saya, begitu banyak yang pergi dan begitu banyak yang datang, dan kepergian kini semakin jarang menimbulkan kesedihan, demikian juga kedatangan tak lagi mampu membangkitkan semangat baru dalam kehidupan, yang saya lihat begitu banyak mendung yang memajang dirinya di langit, hingga melihat biru membalut langit adalah hal yang amat saya rindukan akhir-akhir ini.
Seorang teman terserang kanker paru stadium empat dan sekarang sedang menjalani kemotherapy, sudah lima bulan berlalu, saya masih melihat harapan berkobar dimatanya tiap kali kami datang berkunjung, namun seperti yang saya rasakan akhir-Akhir ini ketidakhadirannya hanyalah perbincangan sesaat dan semua orang kembali melupakan bahwa ada seseorang yang tengah berjuang mempertahankan kehidupannya, demikian juga kedatangan orang-orang baru, rasanya seperti angin, sebentar saja menghasilkan efek yang mampu membuat seseorang berpaling dari fokusnya, kemdian kembali lagi tengelam dalam dirinya.
Mendung itulah yang saya rasakan, sulit sekali menjelaskan perasaan seperti apa itu, dikatakan mendung adalah kesedihan rasanya juga kurang pas, karena semua warga kota ini membenci terik dan amat sering menanti datangnya mendung.
Atau saya katakan saja perasaan saya seperti orang yang sedang berhibrenasi, tak lagi sensitif seperti dulu, saya menengelamkan diri saya dalam mendung, membiarkan rasa peduli dan kehilangan itu menjadi hal yang biasa, ya, saya seperti ingin menjadi batu saja, kenapa? Entahlah mungkin karena kecewa, tapi ini bukan zaman untuk kecewa dan merajuk tak menatu, ini adalah masa dimana saya harus mampu menjadi diri saya yang dulu, diri saya yang termat kebal pada pengabaian sekitar pada keberadaan saya. Diri saya yang tak pernah menciptakan relasi berlebih diluar diri saya.
Tapi salahkan jika saya kecewa, bukankah saya hanyalah manusia biasa, yang pada saat itu amat sangat membutuhkan seseorang melihat saya sebagai orang yang rapuh, salahkah saya jika pada yang terkasih saya hanya mampu memperlihatkan saya yang tegar, saya hanya ingin belahan jiwa saya tetap sehat dan tetap bertumbuh dengan normal, tanpa harus merasakan kepediahan dan ketakukan yang saya rasakan terhadap sesuatu yang menjalar dan pelan-pelan merusak daya hidup saya.
Saat itu saya ingin sekali menagis di ujung telpon, bercerita padanya yang saya anggap adalah seseorang yang berbeda dari manusia sekitar saya, saat itu ingin sekali berkata, bahwa kesediahan yang ia rasakan sama besarnya seperti yang saya rasakan, dan bisakan kita saling membantu untuk saling menyembuhkan luka.
Ketika harapan saya menjadi angin, lagi-lagi saya hanya menemukan “Tali Rapia” di sana, ah tali rapia, saya memang tak pernah bisa leapas ikatan itu dari jemari saya, persis sama ketika saya dan dia pertama kali Tuhan pertemukan lewat sebuah momen yang bahkan tak pernah ada dalam memory otak saya sampai seseorang menceritakan pada saya bahwa momen tali rapia yang saya benci itu adalah momen pertama kali Tuhan menurunkan sahabat untuk saya, Sahabat yang selalu saya minta dalam doa saya pada Tuhan.
Dia yang tak lelah meladeni keluhan saya tentang pengambilalihan hidup saya hingga daya hidup saya rasanya kian hari kian lemah, Harusnya dia pergi, menjauh juga sepeti sang pujangga yang sedang terluka itu, tapi ia menyediakan sedikit celah untuk saya, Saya yang tak pernah memberi kontribusi dalam hidupnya.
Tuhan rasanya ingin saya mengulang doa, Tuhan bolehkah saya memiliki sahabat seperti sang tali rapia, tetapi berjenis seperti saya, setidaknya supaya tidak ada fitnah Tuhan, tapi saya tiba-Tiba tersadar, sudah terlalu banyak yang saya pinta pada Tuhan, biarlah kali ini saya tidak terlau manja PadaNya, menikmati saja tiap karunianya tanpa banyak berkomentar, bukankah ia yang maha pengasih, memiliki stock kasih tak terbatas hingga saya tak perlu takut tak ada seorangpun yang akan mendengarkan keluhan saya tentang perlawan saya untuk mendapatkan daya hidup kembali. Saya yakin suatu hari Tuhan akan menunjukan sendiri pada saya bahwa saya telah ia berikan segalanya, hanya menunggu proses supaya saya tersadar bahwa demikan banyak berkat yang Ia berikan pada saya.
Untuk si ‘tali rapia’ saya tak pernah mampu berkata sepatahpun tentang betapa inginnya saya tetap menjadi Sahabatnya seumur hidup, dan tak lagi berusaha mengatinya dengan yang lain hanya karena terlahir dengan fitrah berbeda, persahabatan adalah soal ketulusan itu saja, tak ada alasan, tak ada pertimbangan, SEMOGA SAJA SAYA BISA SETULUS ITU PADA MU TALI RAPIA....
20/10/2010
Menunggu sang waktu tepat pukul 16.00
Rabu, Desember 22, 2010
keindahan
Sulit menemukan apa yang membawa diriku pada kehidupan dan kondisi hari ini, perjalanan itu terlalu jauh dan amat menjemukan, hingga sekeliling terasa amat membosankan dengan pemandangan yang itu-itu saja, tentu saja hal itu melahirkan kesulitan untuk mendeskripsikan sebuah keindahan lewat indikator umum.
Keindahan buat banyak orang mungkin adalah hal-hal yang memang disosialisasikan sebagai sebuah keindahan sehingga menjadi sebuah kelaziman hal itu disebut indah, dan tentu saja sensor rasa yang Tuhan berikan ikur berperan dalam menentukan hal itu, namun untuk aku hal itu jarang sekali berlaku, mungkin value yang ku anut berbeda dengan orang lain atau aku sesungguhnya asing dengan duniaku sendiri.
Kenyataan selalu saja melahirkan keindahan dalam versiku sendiri, setidaknya mindaku yang berusaha membuatnya menjadi indah, hingga terkadang aku amat sibuk menentang dunia yang menyatakan bahawa hal yang ku anggap indah itu adalah suatu kejelekan. Aku selalu berusaha dan terkadang menjadi amat sangat lelah.
Kelalahan itu terkadang juga amat indah melahirkan sensasi pencarian baru akan perasaan nyaman, setidaknya ribuan jarum kelelahan itu membangkitkan sistem syarafku untuk mencari dan terus mencari arah menuju pelangi.
Suatu ketika, ketika rasa lelah itu datang lagi, lagi dan lagi, hampir saja ingin menyerah, hampir saja ingin berlari, hampir saja mengankat bendera putih, namum seketika tangan Tuhan bekerja, entah bagaimana seluruh rasa lelah itu berganti keindahan, walau seluruh dunia menatap hina, tapi aku tak butuh dunia jika Tuhan menanamkan bibit keindahan dalam hatiku, ia terus saja bersemi memenuhi seluruh ruang dihatiku menghapus terik yang selama inimenghujam hati.
Tuhan selalu saja punya rencana, rencananya yang tak selalu dapat kumengerti, rencananya yang terkadang membuatku bertanya apakah Ia sedang menghukumku, rencananya yang membuatku hampir berputus asa, tapi selalu saja keindahan yang menjadi muara dari segala kesedihan ini.
Ketika sedang marah, aku selalu berharap bisa memilih kepada siapa tali itu aku tautkan, ketika semuanya usai aku berpikir ulang, apa hak ku untuk mendikte keinginannya, seberapa hebat aku hingga mengetahui kebaikan melebihi Nya, akhirnya dengan sesak didada sambil berharap sang lupa segera menguapkan duka, aku hanya bisa pasrah dan membuat kesimpulan hidup adalah kesendirian dan sekitar hanyalah aksesosris, kadang menambah keindahan dan kadang terlihat norak dan berlebihan.
Tuhan...aku berharap semoga stok kesabaranku tak pernah menipis,aku berdoa semoga urat cuekku tetap terpelihara, terus dan terus saja seperti itu hingga tak ada sedikit bebanku menghimpit dadaku, aku akan membiarkan saja semua oarang menguasi bumi ini, biarlah lakukan sesuka kalian, walau harus menyingkir keruang hampa aku tak peduli, aku hanya butuh kesendirianku dan itu sudah berarti sebuah keindahan untukku.
Belajar menerima, mungkin adalah yang terbaik, biarlah semuanya tergerus habis, setidaknya hal itu hanya akan berakhir sampai disitu, tidak menyakiti batninku dan tak pula merampas keindahan dari hatiku.
Mengarungi hidup berarti bersiap untuk mengatasi gelombang, gelombang juga sebuah keindahan, keindahan yang pada satu titik akan melahirkan kebahagian. Aku percaya dan sungguh percaya pada perputaran roda, biarlah semuanya berlalu saja, tak perlu klarifikasi, dengan paham atau tidak pahamnya orang lain tentang suatu pristiwa toh tidak memperbaiki keadaan, Tuhan telah membekukan sang hama itu dalam wujud hama, ia tak lagi dapat bermetamarfosis atau menjadi sesuatu yang baik, cepat atau lambat, semua memang harus dihadapi.
Hidup, kenapa harus membutuhkan pandangan dari sisi oarang lain yang toh tak pernah benar-benar melayarkan kapal bantuan ketika ribut menghatam, mereka hanya pengamat, tidak pernah jadi praktisi, jadi hanya bisa menatap, berkomentar, kemudian diam tanpa solusi sementara pisau itu telah tertancap begitu dalam.
Sang hama hanya datang pada saat panen, menggangu siklus panen, kemudian meronta-rontak ketika pestisida beraksi, seolah-olah mereka adalah korban genoisida, padahal sang petani hanya menjaga periuk nasinya agar tak bocor hingga keindahan masih bisa ia sirami di rumah mungilnya.
Ah dunia,,,,
Tak akan berujung hingga kematian menjemputmu..dan selesailah suadah semua pertanyaan yang mengelisahkanmu.
Menjelang pertandingan Germany Vs Espana....
Keindahan buat banyak orang mungkin adalah hal-hal yang memang disosialisasikan sebagai sebuah keindahan sehingga menjadi sebuah kelaziman hal itu disebut indah, dan tentu saja sensor rasa yang Tuhan berikan ikur berperan dalam menentukan hal itu, namun untuk aku hal itu jarang sekali berlaku, mungkin value yang ku anut berbeda dengan orang lain atau aku sesungguhnya asing dengan duniaku sendiri.
Kenyataan selalu saja melahirkan keindahan dalam versiku sendiri, setidaknya mindaku yang berusaha membuatnya menjadi indah, hingga terkadang aku amat sibuk menentang dunia yang menyatakan bahawa hal yang ku anggap indah itu adalah suatu kejelekan. Aku selalu berusaha dan terkadang menjadi amat sangat lelah.
Kelalahan itu terkadang juga amat indah melahirkan sensasi pencarian baru akan perasaan nyaman, setidaknya ribuan jarum kelelahan itu membangkitkan sistem syarafku untuk mencari dan terus mencari arah menuju pelangi.
Suatu ketika, ketika rasa lelah itu datang lagi, lagi dan lagi, hampir saja ingin menyerah, hampir saja ingin berlari, hampir saja mengankat bendera putih, namum seketika tangan Tuhan bekerja, entah bagaimana seluruh rasa lelah itu berganti keindahan, walau seluruh dunia menatap hina, tapi aku tak butuh dunia jika Tuhan menanamkan bibit keindahan dalam hatiku, ia terus saja bersemi memenuhi seluruh ruang dihatiku menghapus terik yang selama inimenghujam hati.
Tuhan selalu saja punya rencana, rencananya yang tak selalu dapat kumengerti, rencananya yang terkadang membuatku bertanya apakah Ia sedang menghukumku, rencananya yang membuatku hampir berputus asa, tapi selalu saja keindahan yang menjadi muara dari segala kesedihan ini.
Ketika sedang marah, aku selalu berharap bisa memilih kepada siapa tali itu aku tautkan, ketika semuanya usai aku berpikir ulang, apa hak ku untuk mendikte keinginannya, seberapa hebat aku hingga mengetahui kebaikan melebihi Nya, akhirnya dengan sesak didada sambil berharap sang lupa segera menguapkan duka, aku hanya bisa pasrah dan membuat kesimpulan hidup adalah kesendirian dan sekitar hanyalah aksesosris, kadang menambah keindahan dan kadang terlihat norak dan berlebihan.
Tuhan...aku berharap semoga stok kesabaranku tak pernah menipis,aku berdoa semoga urat cuekku tetap terpelihara, terus dan terus saja seperti itu hingga tak ada sedikit bebanku menghimpit dadaku, aku akan membiarkan saja semua oarang menguasi bumi ini, biarlah lakukan sesuka kalian, walau harus menyingkir keruang hampa aku tak peduli, aku hanya butuh kesendirianku dan itu sudah berarti sebuah keindahan untukku.
Belajar menerima, mungkin adalah yang terbaik, biarlah semuanya tergerus habis, setidaknya hal itu hanya akan berakhir sampai disitu, tidak menyakiti batninku dan tak pula merampas keindahan dari hatiku.
Mengarungi hidup berarti bersiap untuk mengatasi gelombang, gelombang juga sebuah keindahan, keindahan yang pada satu titik akan melahirkan kebahagian. Aku percaya dan sungguh percaya pada perputaran roda, biarlah semuanya berlalu saja, tak perlu klarifikasi, dengan paham atau tidak pahamnya orang lain tentang suatu pristiwa toh tidak memperbaiki keadaan, Tuhan telah membekukan sang hama itu dalam wujud hama, ia tak lagi dapat bermetamarfosis atau menjadi sesuatu yang baik, cepat atau lambat, semua memang harus dihadapi.
Hidup, kenapa harus membutuhkan pandangan dari sisi oarang lain yang toh tak pernah benar-benar melayarkan kapal bantuan ketika ribut menghatam, mereka hanya pengamat, tidak pernah jadi praktisi, jadi hanya bisa menatap, berkomentar, kemudian diam tanpa solusi sementara pisau itu telah tertancap begitu dalam.
Sang hama hanya datang pada saat panen, menggangu siklus panen, kemudian meronta-rontak ketika pestisida beraksi, seolah-olah mereka adalah korban genoisida, padahal sang petani hanya menjaga periuk nasinya agar tak bocor hingga keindahan masih bisa ia sirami di rumah mungilnya.
Ah dunia,,,,
Tak akan berujung hingga kematian menjemputmu..dan selesailah suadah semua pertanyaan yang mengelisahkanmu.
Menjelang pertandingan Germany Vs Espana....
Langganan:
Postingan (Atom)