Kamis, Desember 25, 2008

Di Hari Ibu

Ada banyak hal yang membuat kita terkejut, di hari-hari yang kita lalui dalam hidup, terkadang adegannya membuat kita terheran-heran, mengapa kita bisa terjebak dalam kondisi yang demikian rumit, namun di satu sisi akan terbangun suatu pengetahuan tentang suatu hal yang amat asing, hal itu juga terkadang membangun suatu kesadaran bahwa tentang mengadalkan kekuatan dan kemapuan diri sendiri untuk bertahan di segala cuaca adalah suatu keharusan tak peduli seberapa banyak garda pelindung kita yang rela melakukan banyak hal untuk kita setiap saat rengekan butuh petolongan datang.

Di hari Ibu aku berjanji pada diriku, pada seluruh hari yang tersisa, bahwa tiada lain penolong setiaku hanyalah diriku sendiri dan Tuhan yang Maha Kasih, jika suatu saat kesulitan itu berkunjung, ku mohon jauhkan seluler kesayanganku itu dariku, jangan biarkan aku menghubungi seseorang yang yang ka anggap memiliki kemapuan melebihi diriku untuk datang membantuku, karena jika tak seorangpun datang aku akan jadi mahluk yang semakin bodoh, tak punya waktu untuk berpikir mencari solusi sendiri, hanya berpikir selalu mencari pertolongan dan sekali lagi kecewa kan bersarang.

Pada hari Ibu aku tersadar, bahwa hidup pada dasarnya adalah kesendirian, sekitar hanyalah aksesosis yang jangan pernah terlalu berharap akan memperindah kesendirian itu, dan dengan mengenang hal itu air mataku tak tumpah ketika melihat orang yang paling kucintai terbaring lemah di ranjang putih rumah sakit, sementara sang Aveo tak mau berkompromi denganku, ia bermasalah untuk yang pertama kali namun bertepanan dengan saat kesendirian, tanpa ada satupun tempat meminta pertolongan, aku berusaha untuk tersenyum, berusaha mengatasi semuanya sendiri.

Aku menyetir Aveoku dalam diam, melarikannya dengan kecepatan maksimum dan kehati-hatian ekstra agar tak ada satu getaranpun yang akan semakin menmbah rasa sakit di tubuh letih orang yang paling ku cintai. Samar ku lihat senyumnya, aku tau ia ingin sekali bertanya kemana kecenganganku selama ini? Tapi ia urungkan semua tanya di hatinya menghargai keberanianku kali ini.

Ternyata aku bisa melalui semua ini dengan baik, Tuhan membuatnya terasa ringan dan cepat berlalu, bahkan aku bisa tersenyum manis membawa bunga peringatan hari ibu, senyuman yang kupakai untuk memupus seluruh kesedihanku pagi ini, Terimakasih Tuhan telah tunjukan padaku bahwa tak semua yang terlihat adalah kenyataan, dan hal itu terbukti dengan telepon yang tak berbalas setelah mendengar aku terjebak dalam salah satu skenario hidup yang bernama kesulitan.

Cinta…
Semua rintangan dapat kuatasi dengan cintamu, aku tak butuh pertolongan siappun jika ada cintamu, seberapa sulitpun kakiku melangkah aku pasti akan menyusuri hidupku hingga tuntas. Sekali lagi hanya perlu kau dan keluarga kecil kita.

Lihatlah dengan Cinta

Tepat di HUT Riau, seorang teman sekantorku menyelengaran Resepsi Pernikahan putrinya yang berjodoh dengan pria asal Bali, Pestanya berlangsung meriah dengan balutan upacara pernikahan khas Melayu. Saat bersalaman di hadapan pentrakna dapat kurasakan wajah berbinar sang mempelai yang memancarkan aura kebahagiaan. Kebahagiaan itupun seolah menular padaku, ada bahagia yang membuncah dilubuk hatiku melihat mereka bersanding, mungkin karena sebelumnya aku telah mendengar tentang kisah cinta mereka yang berliku, sehingga bisa menyaksikan mereka melewati rintangan itu dan akhirnya menyatukan hati dalam bahtera rumah tangga adalah hal yang membuatku turut merasa bahagia.

Pernikahan dimanapun, selalu mampu mengahadirkan berjuta kegembiraan, kebahagian dan harapan baru. untuk si mempelai yang akan memulai episode baru hidupnya, demikian juga untuk lingkungan sekitar yang terpercik bahagia itu tentunya turut mengantungkan harapan akan pernikahan yang ideal.

Ada yang beruntung menemukan belahan jiwa pada saat yang tepat, adapula yang harus melalui banyak hal hingga akhirnya bertemu belahan jiwa, perjalanan menemukan belahan hati adalah perjalanan yang misterius, tak mudah menebak kemana alur nasib akan bermuara, hingga terkadang banyak yang hampir kelelahan mencari belahan hati , kemudian menyerah saja pada takdir, berdoa semoga Tuhan memberikan yang terbaik.

Kalimat itu dituturkan seoarang sahabat padaku ketika aku dan sahabat-sahabat yang lain mengejutkannya dengan ucapan Selamat Ulang Tahun, tepat ketika ia memasuki ruang kerja kami, pada Ulang Tahunnya yang 39. di batang usianya yang kian merambat, menurut pandangan umum masyarkat, ia sangat pantas untuk menikah dan membagun keluarga bahagia, namun tampaknya hingga kini Tuhan belum mempertemukannya dengan belahan hati.

ia tak lagi berharap akan akan datang seorang pangeran tampan berkuda putih yang akan menjemputnya kemudian hidup bahagia layaknya kisah Cinderella, ia lebih banyak membuka hatinya untuk kebahagian-kebahagian yang lain, yang mampu ia rengkuh, jika gelisah itu datang, ia tak segan berkisah padaku maupun pada sahabat-sahabat yang lain, namun tak pernah kutemukan berat dalam nada suaranya, hanya curahan hati agar orang lain paham bahwa ia tidaklah seperti yang dituduhkan banyak orang tentang kesendiriannya.

Ia tidak pemilih, bahkan sejak dulu tak pernah punya kriteria pendamping hidup, mengalir saja, begitu tuturnya, jika kebetulan menolak perjodohan dengan seseorang bukan karena ia merasa seseorang itu lebih rendah darinya hanya saja dalam istikorahnya ia tak menemukan kemantapan hati, salahkah ia?

Pernah suatu hari seoarang sahabat mencoba memperkenalkannya dengan seoarang pria lajang yang sebaya dengannya, terlihat sepintas ia pria yang baik dan sholeh, terlebih banyak teman-teman di kantor yang sudah lama mengenalnya karena kebetulan letak kantor kami berdekatan, hampir semua merekomendasikan ia sebagai pria yang baik, maka tak ragu, kamipun mempertemukan mereka sesuai permintaan si Pria, selepas pertemuan dalam suatu kesempatan ia berkata pada sahabatku yang memperkenalkan mereka, bahwa ia tak berkenan dengan sang gadis karena ia anggap sang gadis terlalu tua untuknya.

Mendengar itu air mataku tumpah, dan aku sangat marah, tidak adakah alasan lain yang dapat ia kemukakan pada kami selain dari pada faktor Fisik, sebut saja belum srek, atau apalah, yang tak menyakiti hati kami sahabat-sahabat sang gadis, bahkan dengan ringannya ia berkata “saya pikir yang akan di perkenalkan pada saya mbak yang berkerudung hitam” ia menunjuk pada diriku “ atau Mbak yang yang berkaca mata itu” ucapnya lagi mengarah pada sahabatku yang lain.

Dan… banyak lagi ucapan menyakitkan yang membuat aku ingin muntah saja, betapa dangkal pikiranmu hai lelaki…. Hanya raga kah yang berarti untukmu, tidakkah kau tau jika jiwa sudah tiada raga hanyalah bangkai busuk yang di jauhi semua orang, maka dengan sedikit nada meninggi, aku memutus tawanya yang menyebalkan dengan mengucapkan kalimat yang tanpa dapat kukontrol meluncur saja dari bibirku yang gemeter “ Mas khan juga udah tua, saya liat di biodata mas, usia mas tahun ini menginjak 46 tahun, sadar dong….” Andai saja “boleh” ingin ku tonjok mulut lelaki dihadapanku yang dengan ringan mencela “kekurangan” fisik sang gadis. Rabbi…lindungi aku dari marah yang membahana.

Pembicaraan itu tentunya kami rahasiakan dari sang gadis, berharap tak ada luka yang mampir dihatinya, dan syukurlah ia tak pernah menanyakan lanjutan pertemuan itu, dan hidup berjalan seperti biasanya, seoalah tak terjadi apapun, namun hatiku terlajur luka pada kejadian itu sehingga ketika bapak-bapak di kantor menasehati sang Gadis untuk mencari pendamping, (Enatah Nasehat yang ke berapa) kemudian segera menikah dan tak perlu terlalu memilih, hatiku membara, pikirku bergelora, taukah kalian bahwa sang gadis lebih ingin menemukan balahan hati lebih dari yang kalian pikirkan, rasanya ingin aku berteriak sudahlah…jangan desak ia terus dengan nasehat yang sama. Janagan Pojokan ia dengan nasehat yang berulang, Lihat wajah tertunduk sang gadis, tatap ia baik-baik, Lihatlah dari kacamata Sang Gadis, semoga semua melihat dengan jelas betapa ia tak ingin mengulang pembicaraan yang sama.

Rabbi…hanya satu doaku untuknya…Berikan yang terbaik untuknya, jauhkan semua kesedihan dan kepiluah dari hati nya, “Sister, I love U”


Rabu, Desember 10, 2008

Kolam Teratai II

Kepingan ingatan terkadang tak sepenuhnya melahirkan bentuk yang sama, ada yang terhempas amat tinggi hingga jatuh berderai, ada pula yang hanya retak, dan masih dapat terselamatkan, demikian juga ingatanku tentang selasar rumah sakit, selalu saja menimbulkan aroma menusuk bau karbol yang mengingatkan tentang salah satu keping kenangan tentang perasaan tak berdaya terbaring dimeja operasi, kenangan itu kerap muncul ketika melihat orang-orang hilir mudik di selasar rumah sakit, ya…seperi kelahiran dan kematian, selalu saja ada yang datang dan pergi, yang pergi hanya akan dikenang sesekali sebagai sosok yang mungkin pernah berarti yang datang akan disirami dengan harapan, untuk kehidupan yang lebih baik.

Ketika pisau-pisau bedah itu menyayat tubuhku, jiwaku entah melayang kemana, ketika terbangun, bau karbol yang menusuk itulah yang pertama kali mampir dipenciumanku, semua terasa melayang, itulah saat dimana aku sangat membutuhkan gengaman erat tangan seseorang. Entahlah, begitu takut akan pergi, dan tak dapat lagi kembali.

Mungkin itulah perasaan seorang sahabat yang tiba-tiba saja terbaring tak berdaya, dan dalam sekejap seoalah meninggalkan dunia, tak mengenali kedua orangtuanya, saudara-saudaranya dan tentu saja tak mengenali aku sahabatnya yang menangis terisak melihat jasadnya yang begitu hampa, tiap kali memcoba mengatakan betapa aku merindukan tawanya, tiap kalipula ia mengulangi perkataan ku, saat itu sama halnya ketika masih berada dalam pengaruh obat bius sehabis operasi, terasa melayang, sulit mengapai sesuatu yang terlihat amat dekat namun amat sulit di gapai.

Aku selalu berusaha mengingatkannya tentang dirinya, tentang kolam teratai di sekolah kami, tentang guru-guru disekolah kami yang amat sangat merindukan Most Favorite student nya, dan tentang puisi-puisinya, tentang cerpen-cerpennya, dan tentunya tentang es cream Favorite seharga 2000 perak yang selalu kami beli bersama, dan akan kami nikmati bersama sambil mengayuh sepeda deki berwarna ungu hilir mudik mengitari kota kecil kami.

Namun semakin keras aku berusaha, semakin ia melupakanku, semakin terisak aku, semakin ia hanyut dalam dunianya. Tuhan... rasanya lebih baik kami seperti sebelumnya saja menjauh pelan-pelan karena dipisahkan tembok kelas yang berbeda dan banyak hal yang kami sendiri tak tau berawal dari mana, hingga tiba-tiba saja menemukan diri kami berada didua titik yang teramat jauh dari pada seperti ini, berada amat dekat namun tak dapat saling menyapa.

Suatu hari Tuhan mendengar doaku, Sahabatku kembali, ia sepenuhnya mampu menguasi dirinya dan mampu mengusir Virus jahat yang mengakibatkan ia menderita selaput radang otak, ia menjadi sahabatku yang dulu, tetap Favorite Student, sang primadona dan tentu saja tetaplah penulis handal yang selalu mampu membuatku menangis atau tertawa tiap kali membaca karyanya.

Hubungan kamipun masih tetap sama, tetap jauh, walau juga kadang terasa dekat, tetap dekat karena masih satu sekolah namun sekaligus terasa amat jauh, tetap menajalani hari masing-masing dengan cara sendiri-sendiri pula, namun satu hal yang ku tahu, aku tetap saja menyayanginya dan aku mengerti suatu hal bahwa persahabatan hanyalah mengaharapkan yang terbaik bagi sahabatnya walaupun ada tembok yang mengahalangi namun sahabat tetaplah sahabat.

Dimanapun kau berada saat ini, jika suatu hari kau menemukan tulisan ini, aku ingin kau tau, walaupun semua telah berubah diantara kita, namun setetes kenangan tentang persahabatan kita akan selalu ku kenang, seperi aku mengenang kolam teratai di sekolah kita.

Kamis, Desember 04, 2008

Hei...aku menangis

Jika hati manusia seluas samudra tentunya ada banyak tempat di sana, tempat untuk memaafkan, tempat untuk kebahagian, tempat untuk kebencian, tempat untuk kasih sayang, hanya saja porsi dari setiap tempat itu yang berbeda, ada yang mendapat kavling sangat luas adapula yang hanya mendapatkan seruas tempat yang bahkan kadang-kadang tergusur hilng hingga lenyap.

Manusia dilahirkan dengan daya tahan berbeda, ada yang akan sangat tersakiti dengan sesuatu yang dipandang amat sepele oleh orang lain, namun ada pula yang tetap tabah mengahadapi aneka persoalan yang membuat kening sebagian orang berkerut, mencoba mencari jawab tentang ketabahan hati yang dimilikinya.

Jikalau saja manusia menyadari bahwa seseorang dilahirkan dengan keunikannya masing-masing, tentunya seseorang ankan sedikit berhati-hati dalam memperlakukan seseorang, dosis yang yang ia berikan pada seseorang tidak dapat ia pukul rata pada orang lain, dengan kehati-hatian semacam itu tentunya akan terminumalisirlah orang-orang yang membutuhkan antibiotik untuk mengobati luka hati yang kerap membutuhkan waktu yang lama untuk di sembuhkan.

Dunia ini ternyata begitu beraneka, banyak warna yang Tuhan guratkan,dengan warna-warna itulah Tuhan mengambarkan keindahan yang tak semua hati manusia dapat menangkapnya, terkadang butuh stimulus lebih untuk menyampaikan bahwa aneka warna itu adalah keidahan. Bayangkan jika Tuhan hanya mencipatakan dunia hanya dengan satu warna (walaupun itu warna favoritmu), tentunya akan sulit untukmu menetukan pilihan dan perbandingan akan keindahan.

Namun terkadang amat sulit mengkompromikan anatara kemauan hati dan keinginan otak, selalu saja menginginkan Dunia hanya dalam warna yang indah menurut sudut padang diri sendiri, walaupun sudah banyak yang yang berkata bahwa kita dapat mengetahui seseorang itu baik setelah melihat bahwa ada banyak orang jahat di sekitar kita, walaupun tidak selalunya begitu, namun hitam putih merupak contoh tersimpel untuk orang-orang yang hatinya amat sulit menerima kelamnya sang hitam tengah ia jalani.

Tuhan….
Maaf aku tak dapat membangun sebuah ruang di hatiku, untuk sebuah kata Maaf, maafkan segala keangkuhanku, hanya aku juga tersakiti karena tak pernah mampu memberi maaf.

Tuhan….
Kuharap, kupinta dan kumohon bersihkan hatiku dari debu ini, ajari aku menjadi Mahluk yang baik, yang mampu mengalirkan ribuan maaf.

Ah….sungguh aku bukan manhluk yang baik, bukan pula mahluk yang sempurna, hanya sepotong hatiku yang amat sangat angkuh untuk melihat bahwa akupun mungkin membutuhkan sepotong maaf dari orang yang tak mampu ku maafkan karena aku tak mampu memberinya senuah kata maaf.



Selasa, Desember 02, 2008

Terkoneksi

Manusia tak pernah mampu menghidar dari pertemuan dan kemudian diakhiri perpisahan. Pada yang menuang gula, pertemuan akan terasa manis menebar, yang mengiris luka itulah tangis perpisahan. Namun aliran takdir tak hanya berhenti di sana, siklusnya kembali berulang, dan kembali lagi manusia menikmati gelombang rasa.

Pada masa lalu yang tertinggal disilam, bertabur kisah yang tak pernah dinyana adalah kisah yang terhubung dengan takdir hari ini, walau tak pernah jadi pelakon ternyata plotnya berhubungan dengan jalinan hidup, menghadirkan kejutan di panjangnya jalan yang ditempuh, hingga sebagai pelakon tak jarang senyuman dan tawa menjadi teman dan lain waktu, kesedihan membuntuti dengan setia.

Kesedihan orang lain, ternyata adalah juga kesedihan yang pernah kita alami, kehilangan kita adalah kehilangan yang juga dirasai oleh orang lain, kebahagian yang menghampar, adalah hamparan yang sebelumnya dibentang oleh sekeping hati, keindahan yang terekam mata. Adalah juga keindahan yang direkam mata orang lain, walau sudut pandangnya berbeda hakikinya adalah tampilan sebuah objek yang sama.

Ada yang meranggas dan adapula yang bertunas, ia terus bertumbuh sesuai dengan siklusnya, tak sedikitpun keinginannya untuk melawan hukum alam. Bila esok kuntum bermekaran beberapa waktu kemudian gugur dan digantikan kuntum yang lain, demikianlah hidup terus berlalu dengan aneka warna yang terlukis didalamnya

Lingkaran hidup, pada suatu ketika dipertemukannyalah pada suatu titik dengan sesorang yang terkoneksi lewat lembar-lembar cerita yang tak pernah terekam dengan baik, namun sebagai dokomentasi hidup tentunya meninggalkan jejak meski amat sulit untuk melacaknya.

Pernah terpikir olehku dimanakah awal terkoneksinya dua titik yang amat jauh itu, lama kucari jawab dari pertanyaan itu, hingga suatu saat aku menyadari bahwa kami dikungkung oleh sebuah lingkaran yang sama, lingkaran hati, perasaan dan keyakinan yang amat suka menjelajah titik terjauh pikiran, hingga dalam perjalanannya yang tertinggal adalah orang-orang yang berkarakter sama, dari sana pula mungkin tanpa sadar kami tertarik dalam lingkatan yang sama. Lingkaran yang pada suatu ketika membuat kami menyadari bahwa kami adalah keping-keping Puzzle yang membentuk sebuah gambar.

Ada gambar tentang hari lalu yang mengundang deras tawa, terpingkal-pingkal, ah…sebuah gambar memberikan pelajaran tentang langkah-langkah hidup yang membiaskan warna pelangi.