Selasa, Agustus 26, 2008

Dadan-Dahan Kering

Teramat sulit memulai tulus, pada hal hati demikian lelah, pada kebencian pada duka, pada amarah, dan pada kecewa. Panas dan terik selalu saja menghadang setiap sejuk mulai berhembus. pada masa lalu yang penuh gurat, ku coba berkaca berharap bertemu sedikit bayangan Maaf, tapi amarah itu tak kunjung cair, masih ada hawa derita yang membias.

Aku yang seorang gadis cilik kala itu, aku yang gadis remaja masa itu hingga aku yang sang wanita kini, tak kunjung menemukan tempat untuk menyimpan rapat semua kenangan agar tak merembes ke hatiku, maka berkelanalah aku mencari secercah keindahan pada mahluk yang Tuhan ciptakan, selalu saja ku temukan begitu indah harmoni alam, seolah kesakitan tak mampu menyentuh, tapi di sini mengapa selalu selalu derita menjadi awan?

Ibu demikian tabah engkau mencabuti satu-satu duri yang melukai kakimu, tanpa air mata, tanpa keluh kesah… padahal ku tau hatimu pilu, Ayah, terlalu lapang hatimu menerima semua dahan patah itu bertebaran, adik-adiku, biarkan mereka menimbun kita dengan daun meranggas yang kesepian, sungguh suatu hari mereka akan tau bahwa kita adalah permata ayah dan ibu yang selalu bersinar walau kerikil itu selalu merasa dirinya indah.

Jangan hembuskan angin lagi, sudah lah…terlalu letih aku bertahan agar tak patah dahan-dahan kering itu, harusnya ku potong saja dahan-dahan kering itu supaya lebih banyak daun segar yang berputik, tapi Ibu amat mencintai dahan-dahan lawas itu, sehingga memotongnya sama dengan memotong separo jatung Ibu, dan itu tak mungkin ku lakukan aku teramat mencintai Ibu, sehingga ku biarkan saja dahan-dahan kering itu tetap di tempatnya entah sampai kapan.

Aku takut dahan-dahan kering itu kembali melukai Ibu, sudah teramat sering ketika angin datang mereka menerpa Ibu, tapi lagi-lagi ibu terdiam menganggap semua itu dharma bakti hanya karena bertunas dari pohon yang sama. Ibu…sudahlah Bu

Rabu, Agustus 20, 2008

Hujan di Siang itu...

Hujan… sesorang pernah bertutur padaku betapa hujan membangkitkan kenangannya pada seseorang, mungkin jika ia ada disini dan menatap hujan dari balik jendela, tak hanya terkenang, ia juga pasti menanamkan sejuta asa tentang hujan kali ini. semoga saja kabut asap segera berlalu, semoga saja Koto Panjang kembali tergenang, tapi hujan tak lama mampir, hanya sekeder singgah di bumi gersang yang teramat rindu pada desau hujan yang merdu.

bersinku tak kunjung reda, terus saja ia menggodaku, mungkin sebentar lagi flu hendak datang berkunjung padaku, tamu rutin yang datang tiap kali jerebu merajai kota, apa hendak dikata, inilah duniaku, inilah habitatku kini, tempat yang Tuhan gariskan untuk aku menjalani sisi usia yang ia titipkan padaku, entah sampai kapan?

Sampaikah aku seusia para veteran dan warakauri yang dua hari terakhir menjadi pemadangan setiaku di kantorku. Tuhan…inilah mereka yang dulu angkat senjata melawan penjajah, tak kulihat kemilau harta di tubuh renta mereka, tak ku dapati julang sanjungan yang melekat di nama mereka, hanya tubuh-tubuh renta yang penuh semangat, seolah dapat ku saksikan tangan-tangan keriput inilah dulu yang merintis alam merdeka.

Bapak hanya orang biasa, yang membantu seadanya, demikian ucap si Bapak ketika aku bertanya tentang pertempuran yang ia lalui. Pahlawan sejati memang tak ingin ia sanjung puja, bahkan tidak pula pamer kehebatan masa lalu, “semua milik masa lalu” ucap beliau getir. emmm…tak banyak orang yang menolak bernostalgia ke masa jayanya.

Akhirnya aku berlalu, sembari meninggalkan raungan bersin yang kian ganas, sekilas pandang ku lihat sang Bapak berjalan pulang menaiki angkutan kota, seorang diri saja, di temani tongkat hitam yang mengawal langkahnya yang tertatih. Subhanallah… biarlah semua kenangan itu jadi milik beliau saja, semoga Engkau menjaga beliau Ya Allah…, Entahlah, aku kehabisan kata-kata, yang tersisa cuma butiran bening yang menghangat di pipiku.

Marx…tiba-tiba saja aku terkenang pada persahabatanmu dengan Angels, persahabatan yang indah hingga akhir hayat, sunyi jalan yang kau tempuh tentu mengadirkan sebuah symponi dengan hadirnya Angels. Tapi si Bapak hanya sendiri saja bertemankan tongkat hitam andai saja ada seorang Angels untuknya…..

Harus kubuang persaan teralienasi ini jauh-jauh, biarlah aku hanya mampu mengerjakan sebuah bagian kecil yang sebuah produk yang besar, biarlah, tak seorangpun tahu akulah sang pembuat baut kecil yang ikut mengerakkan sebuah mesin, semoga saja ia bermanfaat untuk orang banyak dan suatu hari walau ditelan kesunyian aku tetap dapat melihat semua berjalan sebagimana mestinya walau tak ada seorang proletar seperti aku. Semoga saja....dan sekali lagi tentang pelajaran keikhlasan.

Rabu, Agustus 13, 2008

Inginku

Jika ada ribuan hari yang membentang
Maka ku ingin habiskannya denganmu
Berbagi dunia aneka warna
Memaknainya sebagai keindahan

Jika ada asa yang membumbung
Ku ingin terbang hanya denganmu
Berbagai kisah aneka rupa
Mengartikannya sebagai cinta

Duhai cinta
Biarkan lelahku hanyut di bening matamu
Terbasuh senyummu yang damai
Bersandar di kokoh bahumu

Begandengan tangan kita lalui benting yang menghadang
Menanti surut meninggalkan waktunya
Hingga pasang kembali naik
Mengizinkan bahtera kecil kita menyeberang

Andai ada kelahiran kembali
Maka tetap engaku yang ku pilih
Sebagai cinta dalam hidupku
Hanya engkau.

Minggu, Agustus 10, 2008

Memungut yang terserak

Sebenarnya sudah sejak lama aku ingin menuliskan kisah ini, tapi kesibukan membenturkanku pada sebuah kata yang akhir-akhir ini kerap menguasi kosakataku “tidak sempat”, bahkan teman-teman sekantor kerap menjuluki waktu makanku dengan kata brealunch, maksudnya sarapan plus makan siang, maklum terkadang aku baru menyentuh makananan ketika arloji kesayangan hadiah ultah dari Hubby menunjukan pukul 11.00 teng, so apa namanya kalo bukan brealunch?

Tapi lagi-lagi kisah ini memanggil-manggil, bergelayut terus di otakku, terlebih kala mentap wajah bening sang nenek tua penjual kue yang biasa datang kekantorku, dengan sekeranjang penuh jajanan pasar, tubuh renta itu membawa baban yang demikian berat, walaupun aku tak mengerti matematika bahkan cendrung kesulitan dengan segala bentuk hitungan, namun sensor perasaanku berkata bahwa pastilah sang nenek kepayahan menjijinjing keranjang biru itu, bahkan tak jarang ku temui ia terengah-engah di Pos Satpam kantorku seraya menunggu pelanggan-pelanggan setianya menghampirinya.

Sesungguhnya aku teramat jarang berinteraksi dengan sang nenek, biasanya hanya melihatnya sekilas pandang mengelar dagangannya di kantorku, namun entah kenapa beberapa hari yang lalu hatiku seolah tergerus melihatnya, seorang nenek tua yang usianya mungkin sebaya nenekku. Harusnya ia sudah waktunya duduk manis di rumah menikmati segelas teh dan camilan kecil sambil menunggu kunjungan anak cucu, atau seperi yang lazim ku lihat ketika mengunjungi nenekku, mengaji dengan khusu kemudian dengan riang memamerkan aneka tamanan yang beliau rawat dengan tangannya sendiri.

Mengapa? Tentu pertanyaan itu yang bergema di benakku, ada banyak kemungkinan untuk jawaban pertanyaanku, namun hari itu ketika melihatnya sujud dalam sholatnya yang takzim, aku seperti tak lagi perlu tau kenapa hal seperti itu terjadi pada seoarang nenek tua, aku hanya melihat keriangan di matanya, ketulusan dari senyumnya yang damai, sepertinya aku menjadi lebih tertarik untuk merasakan energy dan semangatnya dalam bertahan hidup, dan tentunya aura keikhlasan yang memancar kuat dari dirinya.

Subhanallah, betapa ringan ia jalani hidup, betapa ia ikhlas ia lalui hari, tak ada keluhahan, tak ada permintaan belas kasihan, yang ia jalani hanyalah “lakon” begitu katanya ketika aku bertanya apa ia tidak lelah berdagang di usianya yang senja.

Tuhan…mendadak aku jadi sangat malu padaMu, betapa aku teramat banyak mengeluh untuk hal-hal sepele, mengeluhakan ketiadaan kenyamanan maksimal yang mampu kuraih.

Nenak tua yang tabah itu saja terus berjuang untuk hidupnya, padahal di jalanan banyak ku lihat pengemis yang kondisinya jauh lebih “baik” dari sang nenek, namun sang nenek tidak melakukannya karena ia percaya bahwa Tuhan menginginkan umatnya menjadi umat yang kuat, tidak cengeng dan pantang menyerah.

Tuhan jaga lah mata, hati dan telinga ku untuk dapat memungut hikmah dari semua kisah yang terbentang di bumiMu, jangan biarkan kesombongan menutup hatiku, jangan biarkan hingar bingar dunia mebutakan mataku, dan jangan biarkan kalpaan menulikan telingaku, bimbing aku Tuhan, untuk semakin dekat pada mau Mu, dan jangan biarkan mauku meraja dan mengaburkan arah yang engakau tunjukan padaku.

Kamis, Agustus 07, 2008

Jangan Pergi

Sore itu membias jingga di Indragiri
Riaknya ku dengar merdu mengalun
Seperti akan terlelap sangat nyenyak

Jangan pergi darinya…
Ia butuh di papah dalam langkahnya yang tertatih
Temani ia sahabat,
Dalam sepinya yang menghempas

Sungguh ia pertiwi sunyi
Terjerat dalam bisu yang hampa
Perlu begitu banyak pertolongan
Untuk meniti hari yang baru.

Sahabat…
Ku mohon jangan pergi
Ada begitu banyak yang ia pelukan darimu
Senyummu yang mencerahkan harinya
Keanggunanmu yang meredam amarahnya

Pergimu hanya menambah luka
Membawa perih yang tak luruh

tahan sedikit sedihmu
simpan sejenak pilumu
demi ia yang terpuruk

P.S Ku Mohon Jangan Pergi….

Sabtu, Agustus 02, 2008

Yang Tersisa

Puan…
Jangan bertanya padaku tentang masa yang tergulung ombak
Sumuanya telah pergi dengan langkah berderap
Beriring lambaian hampa yang membayang perlahan
Ikutpula cerita yang tersimpan di pucuk awan

Ia hanyalah priode hampa
Yang mengambang di ruang kosong
Tak pernah tersimpan
Juga tak harus dibuang

Mengapa harus gelisah?

Andai ada beribu kisah seperti itu, jangan biarkan ia menghiba
Berjalanlah terus
Terseok itu biasa
Jika lelah datang bertamu, sambut saja ia
Pertanda harus berhenti sejenak.

Puan…
Tak ada kata yang harus disimpan
Tak ada kalimat yang harus dilupakan

Jujur saja pada hati
Menangis dan tertawa lakonnya hidup
Tetaplah berlari, horizonkan memeluk erat
Selalu ada akhir dari kisah yang berawal

Sekali lagi Puan…
Tak usah cari damai
Ia tetap di sana
Hanya tak sadari ia bejaga disisimu
Menantimu tuk sadar bahwa ia selalu ada…